Mekanisme Kebijakan Yang Sedang Berlaku:
Mekanisme pembuatan kebijakan publik yang berlaku di dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah saat ini, menurut hemat penulis, tidak jauh berbeda dengan yang telah dibakukan oleh pemerintah Orde Baru. Tidak bisa diingkari bahwa, semenjak diberlakukannya UU 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah di sana sini telah terjadi pencairan pola baku Orde Baru. Munculnya aktor-aktor baru penentu kebijakan publik tingkat lokal pada saat mana dirinya memiliki kewenangan sangat luas, telah membuka peluang untuk mencairkan pola baku mekanisme pembuatan kebijakan publik. Masing-masing daerah memiliki caranya sendiri dalam memodifikasi pola tersebut, dan diantara mereka sebetulnya saling belajar bagaimana mengembangkan proses kebijakan yang lebih partisipatif. Sungguhpun demikian, ada beberapa catatan penting.
Pertama, perubahan-perubahan tersebut di atas ebih terlihat dalam bentuk inovasi atau terobosan pada level perorangan. Artinya, kalau nantinya yang posisi penentu kebijakan ini pindah ke tangan pejabat lain (baik di eksekutif maupun legislatif) tidak ada jaminan inovasi ini akan dilanjutkan akan terbakukan sebagai konvensi yang terlembaga. Mengapa demikian ! Acuan dasar (yuridis formal) yang ada maupun rujukan teoritisnya tidak banyak bergeser. Hal ini akan dielaborasi dalam point-point berikut ini.
Kedua, secara teoritis maupun empiris kebijakan publik selama ini dibayangkan sebagai proses internal organisasi pemerintahan (dalam lingkup eksekutif dan legislatif). Masih bercokolnya bayangan ini sebetulnya adalah pertanda masih hidupnya mekanisme di masa lalu. Lebih dari itu, penentuan kebijakan tidak jarang difahami sebagai penggunaan hak khusus dari seorang pejabat penyelenggara kekuasaan negara, bukan amanat rakyat yang harus ditunaikan. Di sana-sini ada juga gejala para pejabat memperlihatkan inisiatifnya untuk melibatkan eksponen LSM, sebagai pertanda terbukanya pintu partisipasi. Namun kalau kita lacak lebih dalam, pelibatan itu tidak jarang disertai dengan kalkulasi taktis tersendiri. Partisipasi diberikan tidak demi partisipasi itu sendiri, namun demi kesuksesan agenda-agenda pejabat. Menyadari bahwa LSM adalah potensi pembuat keributan mekanisme kebijakan, mereka dilibatkan supaya tidak ribut. Jelasnya, partisipasi diberikan sebagai bentuk penjinakan gerakan.
Ketiga, ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan pembuatan kebijakan publik memang telah mengalami perubahan mendasar. Namun perlu diingat perubahan ini lebih dalam bentuk perpindahan locus pembuatan kebijakan publik dari model yang executive heavy ke legislative heavy. Pergeseran terjadi dalam domain negara, bukan ke domain masyarakat. Pertanyaannya sekarang, bagaimana keleluasaan badan legislatif yang begitu besar dalam penentuan kebijakan publik ini bisa kondusif bagi pengembangan partisipasi. Dari segi aktor yang duduk di dalam lembaga legislatif ini, tidak cukup bukti untuk mengatakan bahwa mayoritas dari mereka adalah orang-orang yang kompeten dan memiliki komitmen besar dalam pengembangan partisipasi publik. Partai-parti politik, yang secara resmi adalah pemasok aktor pembuat kebijakan publik, tidak secara khusus disiapkan untuk menjadi orang yang memiliki kompetensi dan komitmen untuk itu. Parti lebih terlihat wajahnya sebagai kepanjangan tangan elit-elit politik yang berebut dukungan dari pada sebagai mesin penyerap, penampung, dan pengelola aspirasi publik. Di era berlakunya model executive heavy Golkar memposisikan diri sebagai kaki tangan eksekutif di badan legislatif. Di era legislative heavy ini tidak cukup bukti untuk mengatakan bahwa partai-partai politik adalah kaki tangan rakyat dalam mewadahi partisipasinya dalam penentuan kebijakan publik. Jelasnya, dalam mekanisme yang lama maupun yang baru sama-sama tidak memberi jaminan bagi rakyat untuk secara riel berpartisipasi.
Keempat, karena gelisah dengan sempitnya jaminan riel bahwa masyarakat bisa berpartisipasi dalam penentuan isi kebijakan publik, sejumlah LSM lokal mengagendakan pembuatan Perda yang di dalamnya memberikan jaminan dan saluran bagi partisipasi masyarakat. Mereka memotoring proses agenda setting di daerah masing-masing, agar mulai berlangsung proses legislasi untuk menelorkan perda tersebut. Dalam rangka kondisioning dan sekaligus agenda setting ini mereka melakukan pendekatan terhadap figur-figur kunci yang nantinya menentukan proses legislasi. Terhadap jajaran eksekutif, mereka mendekati Kepala Bagian Pemerintahan Desa. Mereka juga mendekati tokoh-tokoh strategis di DPRD. Dalam kalkulasi mereka, masyarakat desalah yang selama ini memiliki akses terbatas dalam pengambilan keputusan di tingkat kabupaten. Untuk mengedepankan kuatnya tuntutan jaminan partisipasi para eksponen tingkat desa ini mereka memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya forum-forum komunikasi BPD, baik pada level kecamatan maupun Kabupaten. (Di beberapa daerah bahkan telah berkembang forum komunikasi BPD pada level propinsi). Di Yogyakarta, gagasan untuk membuat perda jaminan partisipasi digagas sebagai bagian dari agenda pembaruan desa, yang diusung oleh sejumlah LSM. Pemikiran tentang jaminan partisipasi ini jelas berkait dengan keperluan akan adanya kejelasan tentang kewenangan desa serta perimbangan keuangan pemerintah kabupaten dengan pemerintah desa. Sejauh ini belum ada perda yang berhasil ditelorkan dalam rangka itu. Sejumlah pejabat kunci di tingkat lokal yang sempat didekati kalangan LSM pada prinsipnya tidak menyatakan keberatan bagi pengembangan partisipasi. Hanya saja mereka tetap wanti-wanti bahwa dirinya (DPRD-lah) yang memegang otoritas akhir dalam perumusan kebijakan.
Karena hal-hal tersebut di atas, Pelembagaan proses kebijakan publik yang partisipatif, saat ini masing saja bercokol dalam statusnya sebagai agenda kebijakan itu sendiri, meskipun aspirasi ke arah itu sudah lama disuarakan. Sebagaimana yang terjadi di masa lalu, mereka yang berada diliur lingkaran penentu kebijakanlah yang mendorong diagendakan pembakuan proses kebijakan yang partisipatif. Meskipun tidak sepenuhnya tepat, penyelenggaraan acara workshop yang dimotori eksponen-eksponen non-penentu kebijakan merupakan konfirmasi terhadap sinyalemen tersebut di atas.
Model Kebijakan Partisipatif
Dalam bab ini ingin dikemukakan kerangka teoritik yang tersedia dalam literatur kebijakan publik, yang nantinya diharapkan bisa memberi inspirasi dalam perumusan mekanisme kebijakan publik yang partisipatif. Sebelum sampai disitu perlu disampaikan secara lebih eksplisit bahwa selama ini kebijakan publik di daerah (maupun di tingkat nasional) mengacu pada model, yang penulis juluki dengan sebutan model ‘kebijakan sebagai keputusan otoritatif negara’. Pokok gagasan ini sudah tersampaikan secara tersirat dalam assessment kritis yang disampaikan di atas, dan tidak ada gunanya dielaborasi lagi.
Dalam literatur kebijakan publik penulis mengidentifikasi adanya dua model kebijakan yang kiranya konstruktif untuk mengkerangkai pemikiran tentang mekanisme pembuatan kebijakan publik: yakni model ‘kebijakan sebagai perjuangan kepentingan masyrakat’ dan model ‘kebijakan sebagai proses social marketing’. Keduanya akan dipaparkan sebagai berikut.
Kebijakan sebagai perjuangan kepentingan masyrakat.
Kalau kita tidak berfikir birokratis-yuridis semata, maka proses kebijakan publik tidak harus mengandalkan peran aktif pejabat negara. Ini tidak berarti bahwa negara dikesampingkan dalam proses kebijakan. Bahwa dalam negara ada aktor-aktor yang telibat dalam proses penentuan isi kebijakan, itu tidak dibantah. Hanya saja, titik strategis yang diutamakan dalam memahami proses kebijakan adalah proses politik, bukan proses birokratis. Proses politik yang dimaksudkan adalah proses politik yang digerakkan oleh partisipasi politik masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik.
Proses kebijakan, dari kacamata penganjur gagasan ini (misalnya teori sistem), dilihat sebagai proses tuntut-menutut dan dukung-mendukung gagasan kebijakan yang harus difikirkan oleh pejabat pemerintah. Dalam konteks ini, peran pengambil kebijakan keputusan dibayangkan hanya sebatas merespon tuntutan dan dukungan yang disampaikan oleh masyarakat. Dalam proses ini institusi-institusi politik yang ada telah menyediakan arena untuk mengagregasikan berbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat. Penentuan daftar skala prioritas, tawar-menawar antara berbagai fihak yang terkait bisa dilakukan secara mandiri oleh masyarakat dengan mengacu pada aturan main dan prosedur yang ada.
Adanya kapasitas kelembagaan inilah yang memungkinkan berbagai benturan berbagai kepentingan masyarakat bisa diatasi. Masyarakat sendiri menyadari betapa pentingnya menghormati prosedur-prosedur yang telah ada untuk memungkinkan proses kebijakan publik bisa berlangsung dan mengenai sasaran. Dalam situasi yang demikian ini maka mereka yang tidak sepakat dengan isi kebijakan akan bersedia mematuhi keputusan kebijakan. Ini berarti berjalannya kebijakan tidak lagi harus mengandalkan legalitas keputusan pemerintah, melainkan justru legitimasi proses pengambilan kebijakan. Kalau dalam model yang disebutkan dalam pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa pengambilan kebijakan bersifat pro-aktif yang didominasi pejabat negara ujung-ujungnya mengandalkan legalitas perundang-undangan, dalam model ini diasumsikan bahwa peran pro-aktif masyarakat dan tegaknya lembaga-lembaga kemasyarakatan (termasuk hukum) menjadikan pengambil kebijakan tidak haus legalitas. Dalam nuansa ini, kebijakan disadari betul tidak identik dengan produk legislasi. Kebijakan tidak harus dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Bahwa kebijakan akan merugikan fihak-fihak tertentu dan menguntungkan fihak-fihak lain, dari kacamata society centric ini dianggap tidak bermasalah. Keputusan pemerintah yang tidak memuaskan akan menggerakkan fihak yang tidak puas ini untuk memperjuangkan kepentingannya. Dengan demikian maka proses kebijakan akan terus-memerus mengalir dalam bentuk tuntutan/dukungan masyarakat yang senantiasa direspon secara mekanistik poleh pejabat para negara.
Kebijakan sebagai proses social marketing.
Kedua cara penyederhanaan tentang proses kebijakan tersebut di atas sama-sama masuk akal. Penyederhanaan cara memahami proses kebijakan ini bisa disebut sebagai model proses kebijakan. Jelasnya, dari pembahasan tersebut di atas tersirat adanya dua model dasar (menyederhanaan cara memahami) proses kebijakan.
Model yang pertama mengandaikan ekspresi keputusan otoritatif para pejabat negara bisa dilakukan dengan mengandalkan kekuatan negara (dalam hal ini kapasitas instrumental birokrasi pemerintah), sedangkan model yang satunya lagi justru mengandaikan kuatnya basis institusional masyarakat untuk mewadahi partisipasi politiknya. Model yang pertama dengan mudah dipraktekkan di negara yang pemerintahnya dominan atau kapasitas kelembagaan politik masyarakatnya lemah. Mengingat model ini sangat rentan terhadap penyalahgunaan kewenangan oleh para pejabat negara maka advokasi kebijakan menjadi suatu keniscayaan.
Model yang kedua sebetulnya disarikan dari pengalaman negara-negara industri maju yang telah lama mengembangkan liberalisme sebagai pilar pemerintahannya. Kesadaran akan hak-hak politik masyarakat telah menjadi sandaran bagi tegaknya hukum, dan proses kebijakan memang bisa disederhanakan sebagai proses merespon tuntutan dan dukungan masyarakat. Kalau model ini mau dijadikan basis (acuan praktis) untuk pengelolaan proses kebijakan, maka prasyarat-prasyarat bagiberjalannya model ini harus dipenuhi. Prasyarat tersebut adalah bahwa proses kebijakan berlangsung dengan dukungan kapasitas kelembagaan yang memadai. Proses artikulasi dan agregasi kepentingan, misalnya, dijalankan oleh partai-partai politik. Artinya, model kedua mensyaratkan kuatnya basis politik kepartaian. Prasyarat semacam ini tampaknya tidak dengan mudah bisa dipenuhi oleh masyarakat Indonesia saat ini. Ini juga berarti bahwa, peran aktif dan pro-aktif pemerintah, memang tidak bisa dihindarkan. Sehubungan dengan hal itu, maka model pertama bisa dijadikan acuan dengan sejumlah modofikasi.
Alternatif model yang mengkombinasikan kedua model tersebut di atas ditawarkan oleh J.A. Altman. Dia menyebutnya sebagai model social marketing, dimana pejabat negara dituntut untuk aktif dalam proses kebijakan, namun keaktifan tersebut tidak menghilangkan mereduksi arti penting kesepakatan (consent) dari masyarakat. Gagasan Altman ini disajikan dalam grafik di bawah ini. Ada sejumlah butir gagasan yang penting untuk dicatat dari tawaran Altman ini.
Pertama, berlangsungnya proses kebijakan yang memenuhi kedua tuntutan tersebut di atas, mensyaratkan agar, baik pejabat negara maupun masyarakat, menjalani pendidikan kebijakan. Tentu saja materi pendidikan bagi pejabat negara berbeda dengan materi pendidikan bagi masyarakat. Point tersembunyi yang perlu diungkapkan adalah bahwa adanya kesediaan bagi pejabat negara mapun masyarakat untuk saling belajar (membuka mata dan telinga) merupakan kunci bagi kelancaran proses kebijakan.
Kedua, kebijakan pada dasarnya bukan proses birokratik ataupun proses politik belaka, namun juga proses belajar. Poin ini penting untuk kedepankan karena metatapun tenaga ahli telah bekerja sekuat tenaga untuk kesuksesan kebijakan, nuansa trial and error dalam proses kebijakan tidak akan hilang. Kebijakan publik adalah proses eksperimentasi nasib sejumlah orang, kalau bukan nasib komunitas secara keseluruhan. Oleh karena itu, redisain kebijakan merupakan elemen penting. Sejalan dengan kerangka berfikir tersebut di atas, public hearing merupakan proses kunci bagi kelangsungan proses kebijakan. Ketiga, setiap fase pengelolaan kebijakan, partisipasi masyarakat senantisas terbuka.
Model alternatif tersebut di atas sangat mengedepankan arti penting belajar dan konsensus. Dalam realitas, kebijakan justru tidak bisa mengatasi masalah yang diagendakan karena konflik yang berkecamuk. Sehubungan dengan hal itu, kebijakan bisa disederhakan sebagai proses pengelolaan konflik antara berbagai fihak yang saling menggalang kekuatan untuk memperjuangkan kepentingannya. Paul A. Sabatier menawarkan model koalisi-advokasi untuk memahami proses kebijakan.
Dalam model ini dibayangkan proses kebijakan melibatkan komunitas kebijakan yang heterogen yang tergalang dalam sejumlah koalisi untuk memenangkan gagasan kebijakan. Koalisi ini sifatnya lintas batas negara-masyarakat. Yang mempersatukan para stake-holders dalam suatu koalisi adalah kesamaan kepentingan atau keberpihakan terhadapan suatu gagasan kebijakan. Ini artinya, sangat boleh jadi ada pejabat negara yang justru ambil bagian adalam advokasi kebijakan yang dimotori oleh kekuatan-kekuatan masyarakat. Sebaliknya, dalam ranah masyarakat kita menemukan adanya “kaki-tangan” negara yang melangsungkan proses untuk mengamankan kebijakan pemerintah. Sehubungan dengan hal ini, Sabatier sefaham dengan Altman bahwa proses learning (membuka mata dan telinga) adalah proses penting untuk mensukseskan kebijakan.
Prinsip-prinsip Pengembangan
Mekanisme Kebijakan Partisipatif
Sebagai penutup, perlu kiranya disarikan sejumlah prinsip yang perlu disefahami oleh para fihak yang berkehendak untuk ikut ambil bagian dalam pengembangan mekanisme pembuatan kebijakan publik. Sejauh mungkin penulis akan mencoba merumuskan prinsip-prinsip tersebut seoperasional mungkin sehingga bisa menjadi rujukan praktis dalam workshop ini.
Pertama, prinsip mekanisasi. Perumusan (tepatnya perumusan ulang) mekanisme kebijakan partisipatif adalah persoalan merumuskan hubungan mekanis antar berbagai fihak dalam proses kebijakan. Hubungan mekanis ini memungkinkan proses kebijakan bergulir mengingat aksi seorang aktor atau suatu agensi/lembaga/organisasi akan direaksi oleh fihak yang lain. Ini berarti bahwa:
Yang perlu dirumuskan dalam mekanisme bukan hanya kausalitas normatif (entah mengikuti norma demokrasi, norma masyarakat lokal atau norma apa) namun juga kausalitas aksi-reaksi. Sebagaimana dicontohkan di atas, proses kebijakan partisipatif tidak bergulir manaka mekanisme baru yang dirumuskan dalam UU/Perda tidak diyakini masyarakat akan bisa diterapkan. Kalau mereka tetap saja apatis terhadap mekanisme yang ada maka dominasi pejabat dalam proses kebijakan tetap berlangsung, dan agenda pengembangan partisipasi akan kandas.
Mekanisme tidak cukup difahami secara tatanan prosedural, namun juga perangkat antisipasi dinamika sosial. Tidak adanya mekanisme yang jelas menyebabkan proses kebijakan sarat dengan konflik dan kekerasan. Dengan adanya mekanisme yang baku dan disefahami para pelaku, maka masing-masing yang terlibat dalam proses kebijakan bisa mengadu siasat, namun pada akhirnya dia harus tunduk pada apapun yang dicapai dalam mekanisme tersebut. Sebaliknya, kesalahan masa lalu yang melebih-lebihkan asti penting mekanisme sampai-sampai mekanisme tersebut berubah sekedar sebagai formalitas, perlu dihindari.
Pengembangan partisipasi harus menjangkau aspek supply (peluang untuk berpartisipasi) maupun aspek demand (gerakan sosial-politik untuk ikut mempengaruhi keputusan kebijakan pemerintah). Hal ini hanya bisa ditegakkan kalau: (1) pemerintah maupun masyarakat sanggup menegakkan aturan main. Mekanisme itu sendiri pada dasarnya adalah aturan main (2) modal sosial yang ada selama ini ikut didayagunakan
Kedua, prinsip pengelolaan perubahan sosial. Dalam hal ini ada dua persoalan:
Apakah kita mulai dari level mikro (aktor) untuk mengubagh mekanisme, ataukan sebaliknya, sejumlah perubahan makro ditempuh duluan untuk memungkinkan kiprah pada level mikro bisa berlangsung mulus. Sebagai mana telah dikemukakan, pengembangan mekanisme dalam tulisan ini didudukkan sekedar sebagai salah satu pilar pengembangan proses kebijakan yang partisipatif. Mekanisme ini bisa dilahirkan oleh perjuangan aktor-aktor multi fihak yang kemudian sepakat untuk membakukan rumusan dan membiasakan diri untuk mematuhinya. Hal yang sebaliknya juga bisa terjadi. Berbagai perombakan makro struktural dilakukan yang pada gilirannya berbuntut memfasilitasi perubahan-perubahan mikro. Sehubungan dengan persoalan ini maka: (1) pengembangan mekanisme tidak cukup diserahkan pada perumusan ketentuan yuridis, (2) jaminan yuridis/administratif yang diperoleh harus dikawal dengan aksi-aksi dan sejumlah “rekayasa” dalam rangka pembiasaan terhadap mekanisme baru, (3) Aktor-aktor yang menduduki posisi struktural dalam tubuh negara maupun dalam masyarakat perlu didorong untuk mendayagunakan posisi struktural tersebut untuk pembudayaan mekanisme baru.
Persoalan yang kedua adalah bagaimana inovasi awal bisa menggelinding laksana bola salju. Untuk itu advokasi lintas fihak yang sudah tergalang perlu bentuk dan kemudia didayagunakan. Komunikasi lintas fihak, katakanlah antara aktor dalam tubuh negara dengan aktor dalam masyarakat, bisa menghasilkan sinergi yang, kalau dikelola dengan baik, bisa menjamin sustainabilitas.
atau
0 komentar:
Posting Komentar