PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tentang Kebudayaan Indonesia
Sudah berapa banyak produk budaya dan kesenian Indonesia yang diklaim oleh Malaysia. Sebut saja Reog Ponorogo, Jaran kepang, Angklung, Gamelan, Rendang, Rasa Sayange, dan masih banyak lagi hingga terakhir, Batik dari Jawa dan Tari Pendet yang jelas-jelas produk budaya local rakyat Bali ikut pula diklaim. Klaim Malaysia terhadap budaya dan kesenian Indonesia sudah terjadi sejak awal kemerdekaan Malaysia dan menjadi salah satu pemicu konflik antara kedua negara serumpun. Kita tidak bisa menerima pernyataan seorang budayawan Malaysia, yang mengatakan bahwa klaim yang dilakukan oleh Malaysia merupakan usaha untuk melindungi khasanah budaya Melayu dari klaim barat. Negara-negara Eropa memang sangat tertarik dengan eksotika budaya Indonesia. Namun tidak berarti seni dan budaya Indonesia diklaim menjadi milik Malaysia. Tentu saja kita tidak setuju dengan pernyataan itu. Batik dan Tari pendet misalnya. Jelas merupakan produk yang berasal dari Indonesia. Maka pemerintah wajib melindungi dari klaim negara manapun. Apa bedanya direbut Malaysia atau negara Eropa?. Untungnya Norman Abdul Halim, produser film dokumenter Malaysia, meminta maaf atas klaim batik dan tari pendet serta menghentikan iklan Enigmatic Malaysia di Discovery Chanel.
Dibidang politik, Indonesia-Malaysia negara serumpun tetangga paling dekat yang seharusnya saling mendukung dan mengisi kekurangan justru tidak pernah luput dari konflik. Lihat saja sejak Soekarno menjadi Presiden, aksi ganyang Malaysia menjadi salah satu bukti sejarah ketidak harmonisan hubungan kedua negara. Indonesia beranggapan bahwa negara boneka bentukan Inggris itu adalah sebatas semenanjung Malaya (bekas jajahan Inggris) tidak meliputi negeri Sabah yang berada di Kalimantan bagian utara.
Sektor Seni dan Budaya menjadi saasaran empuk potensi konflik. Konflik yang pemicunya dari sektor tersebut muncul karena keragaman budaya leluhur kedua negara. Mengingat Malaysia adalah negara dengan budaya luhur melayu, begitupun Indonesia, khususnya di Indonesia bagian barat. Karena budaya ini dimiliki oleh kedua negara yang berbeda, maka kebudayaan yang berada di wilayah ini disebut budaya daerah abu-abu ; gray area. Budaya yang berada di wilayah ini bisa dimiliki oleh kedua belah pihak, tapi tidak boleh diklaim secara sepihak.
Yang kerap terjadi, khususnya akhir-akhir ini adalah seringanya terjadi klaim di satu pihak saja. Tidak hanya itu, seringkali juga Malaysia mengklaim budaya-budaya yang tidak berada di daerah abu-abu atau yang secara sangat jelas merupakan milik Indonesia, misalnya saja Tari pendet dan Batik Indonesia. Sangat banyak hal-hal yang menjadi pemicu konflik dalam hal budaya ini karena jika kita bicara tentang budaya suatu negara, maka secara tidak langsung kita tengah berbicara tentang identitas negara tersebut yang jelas berhubungan langsung dengan kedaulatan negara yang bersangkutan.
Klaim Malaysia terhadap Batik dan Tari pendet seharusnya bisa menjadi pelajaran dan peringatan bagi kita semua. Sepertinya kita kurang bersyukur, kita punya begitu banyak kesenian dan tarian yang mempesona, namun tak banyak dari kita yang mau mempelajari dan melestarikan. Bahkan kita sepertinya bangga kalau seni dan budaya kita dipelajari dan kemudian ditampilkan/dipertontonkan oleh bangsa lain. Papan-papan penunjuk jalan di Jogja khususnya dan dikota-kota di Jawa pada umumnya banyak yang dituliskan dalam aksara Jawa, tapi berapa banyak anak muda sekarang yang bisa membaca dengan huruf Jawa?.
Pemerintah sudah tentu harus bertindak cepat, tegas, namun juga smart. Berbagai produk kesenian dan budaya kita musti didata dan didaftarkan hak miliknya agar tak perlu lagi kecolongan di kemudian hari. Selanjutny kita juga tidak boleh kalah dalam memasarkan Indonesia di luar negeri. Harapannya, tentu saja agar orang asing lebih tertananm dengan seni dan budaya kita. Kalau seni dan budaya itu sudah dikenal bangsa asing, maka sulit bagi bangsa lain untuk mengklaim seni dan budaya tersebut sebagai miliknya.
Dari kasus tersebut tentu kita sebagai bangsa religi harus selalu mengambil hikmahnya. Dari kasus pencurian budaya semacam ini ternyata juga mampu menggugah semangat untuk mempertahannkan seni dan budaya kita. Sejak batik diklaim negara Malaysia, sekarang banyak instansi yang mewajibkan penggunaan seragam batik di hari-hari tertentu. Anak muda pun tak lagi canggung mengenakan batik karena desain dan motifnya terus berkembang menyesuaikan zaman. Bangsa Indonesia yang di luar negeri pun kian bersemangat dalam mempromosikan budaya Indonesia kepada orang asing. Banyak orang Indonesia yang sebelumnya cuek dengan budaya Indonesia, kini menjadi lebih peduli terhadap nasionalisme dan identitas bangsa ini. Apa yang ditunjukkan Malaysia seharusnya bukan hanya membuat rasa nasionalisme kita tersentil. Tapi nasionalisme yang produktif, seperti digagas mendiang Nurcholish Madjid. Menurut Cak Nur, kita harus menjadi bangsa yang lebih kompetitif dengan karya-karya nyata yang mengharumkan bangsa. Menurutnya, SDM kita misalnya, harus terus dibenahi sehingga setidaknya bisa melebihi Malaysia. Dulu mereka mengimpor guru, kini kita hanya mampu mengekspor tenaga kasar sehingga telah terjadi perbudakan di zaman modern. Kita harus marah, tetapi setelah marah reda, kita harus bekerja keras untuk mengatasi ketertinggalan kita dari Malaysia.
Batik Indonesia secara resmi telah diakui oleh UNESCO. Batik dimasukkan ke dalam Daftar Representatif sebagai Budaya Tak Benda Warisan Manusia (representative list of the intangible cultural heritage of humanity) dalam Sidang ke-4 Komite Antar-Pemerintah (fourth session of the intergovernmental committee) tentang Warisan Budaya Tak Benda di Abu Dhabi. Sedangkan Tari Pendet seperti yang penulis utarakan diatas bahwa Malaysia telah mengakui Tari Pendit milik bangsa Indonesia. Selanjutnya bagai mana bangsa Indonesia mampu mempertahankan seni budaya tersebut?. Dibawah ini akan penulis sampaikan beberapa strategi yang dapat dipakai sebagai acuan untuk mempertahankan senibudaya adiluhung bangsa Indonesia.
2.2 Mempertahankan Identitas Budaya Bangsa
UUD 1945 amandemen ke empat, pasal 32 berubah menjadi 2 ayat. Ayat (1) berbunyi: "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kekebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya."
Jika ayat (1) ini dirinci, ada 3 potongan makna yang terkandung di dalamnya. Pertama, "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia….". Potongan kalimat kedua berbunyi,"…di tengah peradaban dunia…", penegasan bahwa kebudayaan Indonesia adalah bagian dari kebudayaan dan perdaban dunia. Potongan kalimat ketiga, "….dengan menjamin kebebasan masyarakat untuk memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya" merupakan cerminan pemenuhan kehendak tentang perlunya kebebasan dalam mengembangkan nilai budaya masing-masing suku bangsa. Ayat (2) berbunyi, "Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional", ini berarti bahwa masalah bahasa (daerah) sudah dengan sendirinya merupakan salah satu kekayaan (bagian) dari kebudayaan bangsa.
Jaminan seperti yang tertuang dalam kedua ayat tersebut sudah semestinya menjadi kekuatan dan semangat bagi anak bangsa untuk tetap mau mempelajari, menghayati, mengamalkan, dan mempertahankan seni budaya bangsa, khususnya pemerintah secara institusional selaku pengambil kebijakan. Namun demikian, untuk menyelamatkan dan mempertahankan identitas budaya bangsaa kita memerlukan lebih dari sekadar pernyataan semata. Bangsa ini memerlukan suatu grand strategy, strategi besar berdimensi luas dan bervisi jauh ke depan, atas seluruh hajat hidup dan sumberdaya, termasuk budaya, bahasa dan sejarahnya. Pemerintah semestinya melakukan inventarisasi, kodifikasi dan selanjutnya publikasi identitas kebudayaan secara serentak, terorganisir dan menyeluruh. Faktanya, Indonesia hingga saat ini tidak memiliki data lengkap mengenai identitas budaya yang tersebar di setiap daerah. Perlindungan hak cipta terhadap seni budaya juga sangat lemah, sedangkan publikasi multimedia secara internasional mengenai produk seni budaya masih sangat minim. Dan yang paling parah Indonesia juga menghadapi persoalan buruknya birokrasi pendataan hak cipta. Meskipun permohonan pendaftaran hak cipta mengenai seni budaya sudah disampaikan, belum tentu permohonan tersebut segera diproses dan dipublikasikan. Sejak 2002 sampai Juni 2009, misalnya, sudah ada 24.603 permohonan pendaftaran hak cipta bidang seni yang disampaikan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkum dan HAM). Namun, hingga saat ini, permohonan yang disetujui belum dipublikasikan. Hal ini juga terkait dengan belum adanya dasar hukum formal.
Strategi tersebut di atas dapat pula dijabarkan dan dilengkapi dalam bentuk langkah khusus-konkrit. Strategi yang dimaksud misalnya mendorong pemanfaatan teknologi informasi dan perangkat-perangkatnya untuk melakukan pendaftaran dan basis data bersama seluruh khazanah kebudayaan nasional. Itu dengan melibatkan semua pihak se-nusantara, serta membiasakan generasi muda menggunakan berbagai fasilitas teknologi informasi untuk keperluan yang terkait dengan pelestarian dan apresiasi senibudaya nasional Indonesia. Strategi lainnya dapat berupa mendorong daya kreasi pengembangan sains dan teknologi yang ber-inspirasi dari kekayaan yang bersumber pada berbagai aspek kebudayaan tradisional Indonesia atau warisan budaya bangsa (national heritage) yang sangat bhinneka bagi kemajuan peradaban dunia, menanamkan nilai-nilai budaya lokal/nasional yang positif dan konstruktif. Mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa yang terbuka maka strategi tersebut perlu dilengkapi dengan upaya penyaringan budaya asing yang masuk melalui aktualisasi budaya.
Salah satu dimensi lain yang tidak bisa diabaikan dalam upaya mengusung kembali khasanah identitas senibudaya bangsa adalah dunia pendidikan. Karena ancaman globalisasi yang paling mendasar adalah globalisasi budaya yang berdampingan dengan globalisasi ekonomi, maka strategi yang harus diutamakan adalah strategi budaya yang berbasis penguatan pendidikan. Sumberdaya manusia yang peka terhadap identitas budaya, serta berdaya saing tiggi juga berwawasan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, dibangun melalui pendidikan.
Pendidikan, baik formal maupun non-formal adalah bagian dari kebudayaan dan kebudayaan adalah sistem nilai yang kita hayati. Dalam pandangan Daoed Joesoef kegiatan pendidikan adalah kegiatan budaya. Melalui pendidikan yang sudah diperbarui ini, masyarakat dibantu untuk tidak hanya menjadi sekadar pendukung budaya tetapi lebih-lebih berperan sebagai pengembang budaya. Dalam hubungannya dengan meneguhkan identitas kebudayaan, pendidikan merupakan wahana sentral dalam menerjemahkan gagasan tersebut menjadi kenyataan perilaku yang semakin menguat dalam masyarakat, terutama pada generasi muda.
Wacana tersebut dalam tahap implementasinya mengharuskan pendidikan yang diterapkan bersumber dari bentuk kurikulum yang sarat muatan atau nilai penguatan identitas budaya nasional. Ini berarti kurikulum yang bermuatan budaya nasional akan sama antara satu daerah yang satu dengan daerah yang lain, tetapi akan berbeda ketika menyangkut identitas budaya lokal masing-masing. Selain membagi dan berbagi pengetahuan mengenai adat istiadat lokal dan nasional, nilai-nilai budaya bersama juga harus disampaikan dalam proses pendidikan yang berbasis nilai-nilai budaya lokal dan nasional. Pengetahuan mengenai adat istiadat lokal maupun nasional dan pemahaman mengenai nilai-nilai bersama sebagai hasil dari proses pendidikan berbasis nilai-nilai budaya lokal dan nasional akan membentuk manusia Indonesia yang bangga terhadap tanah airnya. Rasa kebanggaan ini akan menimbulkan rasa cinta pada tanah airnya yang kemudian akan mengejawantah dalam perilaku melindungi, menjaga kedaulatan, kehormatan dan segala apa yang dimiliki oleh negaranya, dalam hal ini adalah identitas kebudayaan nasional.
atau
0 komentar:
Posting Komentar