Kata "Non-Blok" diperkenalkan pertama kali oleh Perdana Menteri India Nehru dalam pidatonya tahun 1954 di Colombo, Sri Lanka. Dalam pidato itu, Nehru menjelaskan lima pilar yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk membentuk relasi Sino-India yang disebut dengan Panchsheel (lima pengendali). Prinsip ini kemudian digunakan sebagai basis dari Gerakan Non-Blok. Lima prinsip tersebut adalah:
1. Saling menghormati integritas teritorial dan kedaulatan.
2. Perjanjian non-agresi
3. Tidak mengintervensi urusan dalam negeri negara lain
4. Kesetaraan dan keuntungan bersama
5. Menjaga perdamaian
Gerakan Non-Blok sendiri bermula dari sebuah Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika sebuah konferensi yang diadakan di Bandung, Indonesia, pada tahun 1955. Di sana, negara-negara yang tidak berpihak pada blok tertentu mendeklarasikan keinginan mereka untuk tidak terlibat dalam konfrontasi ideologi Barat-Timur. Pendiri dari gerakan ini adalah lima pemimpin dunia: Josip Broz Tito presiden Yugoslavia, Soekarno presiden Indonesia, Gamal Abdul Nasser presiden Mesir, Pandit Jawaharlal Nehru perdana menteri India, dan Kwame Nkrumah dari Ghana.
Gerakan Non-Blok (GNB) (bahasa Inggris: Non-Aligned Movement/NAM) adalah suatu organisasi internasional yang terdiri dari lebih dari 100 negara-negara yang tidak menganggap dirinya beraliansi dengan atau terhadap blok kekuatan besar apapun. Tujuan dari organisasi ini, seperti yang tercantum dalam Deklarasi Havana tahun 1979, adalah untuk menjamin "kemerdekaan, kedaulatan, integritas teritorial, dan keamanan dari negara-negara nonblok" dalam perjuangan mereka menentang imperialisme, kolonialisme, neo-kolonialisme, apartheid, zionisme, rasisme dan segala bentuk agresi militer, pendudukan, dominasi, interferensi atau hegemoni dan menentang segala bentuk blok politik. Mereka merepresentasikan 55 persen penduduk dunia dan hampir 2/3 keangotaan PBB. Negara-negara yang telah menyelenggarakan konferensi tingkat tinggi (KTT) Non-Blok termasuk Yugoslavia, Mesir, Zambia, Aljazair, Sri Lanka, Kuba, India, Zimbabwe, Indonesia, Kolombia, Afrika Selatan dan Malaysia.
Tujuan utama GNB semula difokuskan pada upaya dukungan bagi hak menentukan nasib sendiri, kemerdekaan nasional, kedaulatan dan integritas nasional negara-negara anggota[7]. Tujuan penting lainnya adalah penentangan terhadap apartheid; tidak memihak pada pakta militer multilateral; perjuangan menentang segala bentuk dan manifestasi imperialisme; perjuangan menentang kolonialisme, neo-kolonialisme, rasisme, pendudukan dan dominasi asing, perlucutan senjata, tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain dan hidup berdampingan secara damai, penolakan terhadap penggunaan atau ancaman kekuatan dalam hubungan internasional, pembangunan ekonomi-sosial dan restrukturisasi sistem perekonomian internasional; serta kerjasama internasional berdasarkan persamaan hak. Sejak pertengahan 1970-an, isu-isu ekonomi mulai menjadi perhatian utama negara-negara anggota GNB.
Anggota-anggota penting di antaranya Yugoslavia, India, Mesir, Indonesia, Pakistan, Kuba, Kolombia, Venezuela, Afrika Selatan, Iran, Malaysia, dan untuk suatu masa, Republik Rakyat Cina. Meskipun organisasi ini dimaksudkan untuk menjadi aliansi yang dekat seperti NATO atau Pakta Warsawa, negara-negara anggotanya tidak pernah mempunyai kedekatan yang diinginkan dan banyak anggotanya yang akhirnya diajak beraliansi salah satu negara-negara adidaya tersebut. Misalnya, Kuba mempunyai hubungan yang dekat dengan Uni Soviet pada masa Perang Dingin. Atau India yang bersekutu dengan Uni Soviet untuk melawan Tiongkok selama beberapa tahun. Lebih buruk lagi, beberapa anggota bahkan terlibat konflik dengan anggota lainnya, seperti misalnya konflik antara India dengan Pakistan, Iran dengan Irak. Gerakan ini sempat terpecah pada saat Uni Soviet menginvasi Afganistan pada tahun 1979. Ketika itu, seluruh sekutu Soviet mendukung invasi sementara anggota GNB, terutama negara dengan mayoritas muslim, tidak mungkin melakukan hal yang sama untuk Afghanistan akibat adanya perjanjian nonintervensi.
Gerakan ini sempat kehilangan kredibilitasnya pada akhir tahun1960-an ketika anggota-anggotanya mulai terpecah dan bergabung bersama Blok lain, terutama Blok Timur. Muncul pertanyaan bagaimana sebuah negara yang bersekutu dengan Uni Soviet seperti Kuba bisa mengklaim dirinya sebagai negara nonblok. Gerakan ini kemudian terpecah sepenuhnya pada masa invasi Soviet terhadap Afghanistan tahun 1979.
GNB menempati posisi khusus dalam politik luar negeri Indonesia karena Indonesia sejak awal memiliki peran sentral dalam pendirian GNB[8]. KAA tahun 1955 yang diselenggarakan di Bandung dan menghasilkan ‘Dasa Sila Bandung’ yang menjadi prinsip-prinsip utama GNB, merupakan bukti peran dan kontribusi penting Indonesia dalam mengawali pendirian GNB. Secara khusus, Presiden Soekarno juga diakui sebagai tokoh penggagas dan pendiri GNB. Indonesia menilai penting GNB tidak sekedar dari peran yang selama ini dikontribusikan, tetapi terlebih-lebih mengingat prinsip dan tujuan GNB merupakan refleksi dari perjuangan dan tujuan Dalam KTT GNB ke-10 di Jakarta, pada tahun 1992, sebagian besar ketidakpastian dan keragu-raguan mengenai peran dan masa depan GNB berhasil ditanggulangi. Pesan Jakarta, yang disepakati dalam KTT GNB ke-10 di Jakarta, adalah dokumen penting yang dihasilkan pada periode kepemimpinan Indonesia dan memuat visi baru GNB, antara lain[9]:
•Mengenai relevansi GNB setelah Perang Dingin dan meningkatkan kerjasama konstruktif sebagai komponen integral hubungan internasional;
•Menekankan pada kerjasama ekonomi internasional dalam mengisi kemerdekaan yang berhasil dicapai melalui perjuangan GNB sebelumnya;
•Meningkatkan potensi ekonomi anggota GNB melalui peningkatan kerjasama Selatan-Selatan.
Selaku ketua GNB waktu itu, Indonesia juga “menghidupkan kembali dialog konstruktif Utara-Selatan berdasarkan saling ketergantungan yang setara (genuine interdependence), kesamaan kepentingan dan manfaat, dan tanggung jawab bersama”. Selain itu, Indonesia juga mengupayakan penyelesaian masalah hutang luar negeri negara-negara berkembang miskin (HIPCs/ Heavily Indebted Poor Countries) yang terpadu, berkesinambungan dan komprehensif. Sementara guna memperkuat kerjasama Selatan-Selatan, KTT GNB ke-10 di Jakarta sepakat untuk “mengintensifkan kerjasama Selatan-Selatan berdasarkan prinsip collective self-reliance”. Sebagai tindak lanjutnya, sesuai mandat KTT Cartagena, Indonesia bersama Brunei Darussalam.
Munculnya tantangan-tantangan global baru sejak awal abad ke-21 telah memaksa GNB terus mengembangkan kapasitas dan arah kebijakannya, agar sepenuhnya mampu menjadikan keberadaannya tetap relevan tidak hanya bagi negara-negara anggotanya tetapi lebih terkait dengan kontribusinya dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Isu-isu menonjol terkait dengan masalah terorisme, merebaknya konflik intra dan antar negara, perlucutan senjata dan senjata pemusnah massal, serta dampak gobalisasi di bidang ekonomi dan informasi teknologi, telah menjadikan GNB perlu menyesuaikan kebijakan dan perjuangannya. Dalam konteks ini, GNB memandang perannya tidak hanya sebagai obyek tetapi sebagai mitra seimbang .
Terkait dengan dampak negatif krisis moneter global terhadap negara-negara berkembang, KTT ke-15 menegaskan pula perlunya GNB bekerja sama lebih erat dengan Kelompok G-77 dan China. Suatu reformasi mendasar terhadap sistem dan fondasi perekonomian dan moneter global perlu dilakukan dengan memperkuat peran negara-negara berkembang dalam proses pengambilan keputusan dan penguatan peran PBB.
KTT ke-15 GNB menyatakan bahwa GNB mendukung hak menentukan sendiri bagi rakyat, termasuk rakyat di wilayah yang masih di bawah pendudukan. Dalam konteks itu, GNB mendukung hak-hak rakyat Palestina dalam menentukan nasibnya sendiri, untuk mendirikan negara Palestina merdeka dan berdaulat dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kota, serta solusi adil atas hak kembali pengungsi Palestina sesuai Resolusi PBB Nomor 194. GNB juga menolak segala bentuk pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jerusalem Timur untuk tujuan mengubah peta demografis di dua wilayah tersebut. GNB juga meminta Israel melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB dengan mundur dari Dataran Tinggi Golan hingga perbatasan 4 Juni 1967 dan mundur total dari sisa tanah Lebanon yang masih diduduki.
Dalam bidang politik, Indonesia selalu berperan dalam upaya peningkatan peran GNB untuk menyerukan perdamaian dan keamanan internasional, proses dialog dan kerjasama dalam upaya penyelesaian damai konflik-konflik intra dan antar negara, dan upaya penanganan isu-isu dan ancaman keamanan global baru. Indonesia saat ini menjadi Ketua Komite Ekonomi dan Social, Ketua Kelompok Kerja Perlucutan Senjata pada Komite Politik, dan anggota Komite Palestina.
II.II GNB = Masih Relevan?
Gerakan Non Blok (GNB) belakang ini sedang muncul lagi di permukaan, tepatnya di Afrika selatan. Hal ini mengingat kondisi di dunia ini sudah tidak dibawa pengaruh dua blok besar. Maka muncul pertanyaan mau kemana GNB ni akan dibawa? Di bidang apa program kegiatan dan fokus GNB? Prioritas apa yang akan dilakukan GNB? Bagaimana GNB memberikan pengaruh kepada kepbijakan-kebijakan yang ada untuk memajukan kesejahteraan anggota-anggotanya? Dan masih banyak pertanyaan muncul dan sebagaian besar memberikan tanda Tanya kepada apa yang akan dilakukan GNB selanjutnya mengingan keadaan yang telah berubah.
Oleh karena banyak nya pertanyaan tersebut Afrika Selatan yang menjabat sebagai president GNB saat ini membuat suatau “brainstorming” terhadap anggota-anggota GMNB di Arrabela Resort dekat dengan Cape Town, Afrika Selatan pada 2-14 Desember 2002[10]. Pertemuan ini dihadiri oleh beberapa anggota GNB diantaranya Aljazair, KOlumbia, Kuba, India, Indonesia, Jamaika, Yordania, Malaysia, Mozambik, Zimbabwe. Sebelumadanya konferensi ini telah diadakan konfrensi sebelumnya pada bulan april 2002 hal itu diselenggarakan untuk membuat suatu angin segar yang akan disumbangkan kepada KTT yang di Kuala Lumpur hal ini juga diharapkan menjadi salah satu masukan bagi deklarasi dari konferensi tersebut.
Dalam konfereksi ini pun ada yang menanyakan yaitu Amr Moussa yang merupakan sekertaris jendral dari Liga Arab dan merupakan mantan mentri luar negri Mesir, tentang Relevansi GNB itu sendiri[11]. Memang bila dilihat dari keadaan dunia sekarang ini dimana sudah tidak ada lagi dua blok yang yang berkuasa maka apakah sebaiknya label GNB itu sendiri di rubah menjadi “Gerakan untuk demokrasi, Keamanan , dan Pembangunan” dengan harapan memberi hawa baru dan agar lebih relevan dengan apa yang ada di dunia sekarang.
Memang pertanyaan seperti itu yang ada dibenak masing-masing anggota bahkan kita sebagai kaum awam. GNB itu sendiri termasuk suau gerakan yang memilik tindakan nyata dalam membantu anggota-anggotanya yaitu dapat dilihat dari banyaknya Negara anggota GNB yang berhasil lepas dari cengkraman Kolonialisme dan hal ini pun menjadi salah satu issue yang penting bagi pergerakan yang telah GNB lakukan. GNB sendiri memiliki keuntunga bagi Negara anggotanya diantaranya GNB bukan saja aktif keluar namun juga membantu Negara-negara anggotanya yang masih hidup dibawah garis kemiskinan, keterbelakangan, dan mengakhiri dominasi dan diskriminasi yang terjadi.
Hal ini juga dilakukan untuk melindungi Negara-negara kecil dari proses Globalisasi yang sangat cepat mengingat keterbatasan dalam bidang finansial dan krisis yang ada didalam Negara mereka sehinnga dengan GNB ini dapat mengcover hal tersebut. Yaitu dengan GNB Negara-negara juga memiliki suatu wadah untuk mengemukakan pendapat mereka dan dalam lingkup yang besar.
Maka dapat dikatakan bahwa untuk dapat senantiasa memelihara kerelevansian GNB makan ada hal-hal yang perlu di dilakukan diantaranya yaitu dengan meningkatkan efisiensi, efetifitas, produktifitas dan kualitas sebagai salah satu gerakan modern yang dapat merangkul seluruh anggotanya dan melakukan atau memutuskan kebijakan yang dapat dirasakan manfaatnya oleh negran dan Negara -negara kecil tersebut[12]. GNB juga harus mulai fokus, aktualitas, responsif denga issue yang berkembang di dunia. Mengenai nema mungkin hal tersebut bukan hal yang terlalu penting karena pada akhirnya hal tersebut akan sia-sia bila tdak didukung oleh komitmen dan pembetulan struktur didalamnya.
INDONESIA DAN GNB
Bagi Indonesia, Gerakan Non Blok merupakan wadah yang tepat bagi Negara-negara berkembang untuk memperjuangkan cita-citanya dan untuk itu Indonesia senantiasa berusaha secara konsisten dan aktif membantu berbagai upaya kearah pencapaian tujuan dan prinsip-prinsip Gerakan Non Blok.
GNB mempunyai arti yang khusus bagi bangsa Indonesia yang dapat dikatakan lahir sebagai Negara netral yang tidak memihak. Hal tersebut tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia haurs dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Selain itu diamanatkan pula bahwa Indonesia ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kedua mandat tersebut juga merupakan falsafah dasar GNB.
Sesuai dengan politik luar negeri yang bebas dan aktif, Indonesia memilih untuk menentukan jalannya sendiri dalam upaya membantu tercapainya perdamaian dunia dengan mengadakan persahabatan dengan segala bangsa.
Sebagai implementasi dari politik luar negeri yang bebas dan aktif itu, selain sebagai salah satu Negara pendiri GNB, Indonesia juga senantiasa setia dan commited pada prinsip-prinsip dan aspirasi GNB.
Sikap ini secara konsekuen diaktualisasikan Indonesia dalam kiprahnya pada masa kepemimpinan Indonesia pada tahun 1992 – 1995 diawal era pasca perang dingin. Pada masa itu, Indonesia telah berhasil membawa GNB untuk mampu menentukan arah dan secara dinamis menyesuaikan diri pada setiap perubahan yang terjadi dengan menata kembali prioritas-prioritas lama dan menentukan prioritas-prioritas baru dan menetapkan orientasi serta pendekatan yang baru pula.
atau
0 komentar:
Posting Komentar