Seperti telah disebutkan pada bab terdahulu, Konferensi Asia-Afrika yang dikenal dengan sebutan “Konferensi Bandung” diselenggarakan pada tanggal 18-24 April 1955. Konferensi ini digagas bersama oleh Indonesia, Burma, Srilangka, India, dan Pakistan. Hadir dalam konferensi itu 29 pemimpin Negara, 23 di antaranya dari kawasan Asia dan 6 dari kawasan Afrika. Pemimpin-pemimpin besar dunia, seperti Soekarno dari Indonesia, Chou Enlai dari Republik Rakyat Tiongkok, Perdana Menteri Jawaharal Nehru dari India, Mohamad Ali dari Pakistan, U Nu dari Burma, Gamal Abdul Nasser dari Mesir, tercatat sebagai hadirin yang mengikuti konferensi tersebut.
Konferensi dilaksanakan dalam situasi ketika dunia terbelah ke dalam dua blok kekuatan adidaya dunia yang saling berseteru dalam perang dingin, yakni “Blok Barat” yang dipimpin Amerika Serikat dan “Blok Timur” yang dipimpin oleh Uni Soviet. Blok-blok kekuatan adalah buah dari tidak terselesaikannya kontradiksi dalam panggung politik dunia antara kekuatan imperialis Barat dengan kekuatan negara-negara Sosialis yang pada saat berlangsungnya perang imperialis, bersekutu menumbangkan blok kekuatan fasisme yang terdiri dari Jerman, Italia, dan Jepang.
Kini setelah 50 tahun Konferensi Asia Afrika I berlangsung, Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan Pemerintah Afrika Selatan telah melaksanakan Konferensi II Bangsa-Bangsa Asia dan Afrika. Konferensi ini dilaksanakan bertepatan dengan momentum 50 tahun Konferensi Asia-Afrika Bandung pada 18-24 April 2005.
Negara-negara yang diundang pada peringantan 50 tahun Konferensi Asia Afrika, berjumlah 25 negara yaitu : Afgnistan, Kamboja, Federasi Afrika Tengah, Republik Rakyat Tingkok (China), Mesir, Ethiopia, Pantai Emas (Gold coast), Iran, Irak, Jepang, Yordania, Laos, Libanon, Liberia, Libya, Nepal, Filipina, Saudi Arabia, Sudan, Syria, Thailand, Turki, Vietnam Utara, Vietnam Selatan dan Yaman.
Peringatan serupa sebenarnya bukan hanya milik Pemerintah RI atau Pemerintah Afrika Selatan. Momentum Konferensi Asia-Afrika sesungguhnya adalah momentum seluruh Rakyat dari seluruh dunia, terutama dari Negara-negara yang saat ini berada secara langsung maupun tidak langsung dalam dominasi imperialisme, khususnya imperialisme Amerika Serikat (AS). Karenanya berbagai kalangan masyarakat sipil, baik organisasi massa maupun organisasi sosial non-pemerintah, juga turut menyibukan diri untuk melaksanakan peringatan emas 50 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA).
Pertemuan puncak dari Konferensi tersebut dilaksanakan pada tanggal 22-23 April 2005 di ibukota Jakarta, tepatnya di Gedung Jakarta Convention Centre (JCC). Pertemuan itu berupa Konferensi Tingkat Tinggi yang dihadiri oleh pemimpin-pemimpin negara yang turut serta dalam Konferensi Asia-Afrika II. Melalui KTT tersebut, dicetuskan “Deklarasi Kemitraan Strategis Baru Asia-Afrika (New Asian-African Strategic Partnership/NAASP)”.
Deklarasi ini memfokuskan kerjasama Asia-Afrika secara konkret dan komplementer demi tercapainya perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran di kedua benua. Gagasan NAASP pertama kali dicetuskan pada pertemuan Asian-African Sub Regional Organization Conference (AASROC) I di Bandung 29-30 Juli 2003. Berdasarkan NAASP, kemitraan Asia-Afrika akan didasarkan pada tiga pilar kemitraan yaitu antarpemerintah, antarorganisasi sub-regional dan antarkelompok masyarakat yang terdiri atas (pelaku bisnis, akademisi dan masyarakat madani).
Kemitraan strategis yang baru ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan di kawasan Asia-Afrika yang mengarah pada upaya-upaya meningkatkan sejumlah mekanisme yang sudah ada, seperti NEPAD (New Partnership for African Development), TICAD (Tokyo International Conference on African Development), China-Africa Cooperation Conference Forum, India NEPAD Fund, dan lain-lain.
Selain di Jakarta, Konferensi juga berlangsung di Bogor dan mengahsilkan 4 tujuan pokok Konferensi Asia Afrika, yaitu :
1. Untuk memajukan goodwill (kehendak yang luhur) dan kerjasama antar bangsa-bangsa Asia dan Afrika, untuk memajukan kepentingan-kepentingan bersama, serta untuk menciptakan dan meningkatkan persahabatan.
2. Untuk meningkatkan kerjasama dibidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan.
3. Untuk mempertimbangkan hal-hal yang merupakan kepentingan khusus bangsa-bangsa Asia dan Afrika, misalnya hal-hal yang berkaitan dengan kedaulatan nasional dan masalah-masalah rasialisme dan kolonialisme.
4. Untuk memajukan kedudukan rakyat Asia dan Afrika didalam dunia dewasa ini serta sumbangan yang dapat mereka berikan guna memajukan perdamaian serta kerjasama di dunia.
BAB VI
P E N U T U P
Semenjak Uni Sovyet runtuh dan pecah terbagi menjadi beberapa Negara, Gerakan Non Blok terasa kurang relevansinya. Kejatuhan Uni Soviet tersebut kemudian diikuti dengan krisis politik yang melanda Negara-negara sekutunya di belahan Eropa Timur. Yugoslavia terpecah menjadi beberapa Negara, Jerman Barat bergabung dengan Jerman timur dan Negara-negara Eropa Timur lainnya melakukan reformasi politik dan ekonomi mengikuti fenomena sejarah yang terjadi saat itu.
Organisasi pertahanan Pakta Parsawa dibubarkan, bahkan beberapa Negara yang dulu bergabung didalamnya kemudian bergabung menjadi anggota NATO yang dulu merupakan pesaing beratnya. Fenomena ini menandai berakhirnya era perang dingin antara Blok Barat yang dikomandani AS dan Blok Timur di bawah pimpinan Uni Sovyet. Situasi politik internasional berubah drastis dengan menampilkan AS sebagai satu-satunya super power dunia.
Motivasi utama pendirian Gerakan Non Blok pada tahun 1961 adalah untuk menghindarkan perang serta memperkokoh perdamaian. Persaingan kekutan militer yang sangat tajam antara AS dan Uni Soviet menimbulkan kekhawatiran berbagai Negara bahwa kemungkinan akan pecah perang terbuka antara kedua pihak.
Untuk menyikapi keadaan tersebut beberapa Negara melakukan inisiatif dan memprakarsai sebuah gerakan yang diposisikan netral, tidak memihak serta tidak berada di kedua belah pihak. Pendirian GNB didasari oleh semangat Dasasila Bandung yang dihasilkan pada Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung. Pada saat masih berlangsung perang dingin, tujuan GNB memiliki relevansi yang sangat kuat. Keberadaannya secara politik agak surut ketika terjadi revolusi politik besar-besaran di Uni Sovyet dan Negara-negara Eropa Timur.
Namun jika dikaji lebih dalam, surutnya peran GNB itu sebenarnya lebih bersifat di permukaan, Setelah berakhirnya era perang dingin, bukan berarti dunia terbebas dari konflik dan peperangan. Di beberapa Negara/wilayah, terjadi berbagai konflik baik bersifat local maupun regional. Perseteruan politik yang disertai dengan pergantian kepemimpinan nasional terjadi dibeberapa Negara Afrika. Bahkan peristiwa yang hampir sama juga dialami Indonesia, sebagai salah satu pelopor berdirina gerakan ini.
Perang antara Israel dan Palestina tetap berlangsung sampai saat ini, India dan Pakistan yang sama-sama anggota GNB juga mengalami hubungan yang tidak harmonis. Hal yang sama terjadi terhadap dua Negara bersaudara di Semenanjung Korea yaitu Korea Selatan dan Korea Utara. Sementara itu penyerangan AS kepada Irak yang merupakan salah satu Negara anggota GNB juga tidak dapat dihindarkan.
Meskipun mayoritas anggota PBB yang berjumlah 196 negara merupakan anggota Gerakan Non Blok (144 negara), tetapi GNB tidak mempunyai “kekuatan”. Terbukti ketika akhirnya AS berhasil menyerang Irak dengan alasan Irak menyimpan senjata pemusnah massal. Padahal seperti diketahui, dalam KTT GNB ke-13 di Kuala Lumpur, Malaysia, Negara-negara anggota telah sepakat menjadikan krisis AS – Irak sebagai salah satu tema utama.
Negara anggota menghendaki GNB mengeluarkan satu resolusi yang secara tegas menyatakan penolakan terhadap rencana serangan AS tersebut. Pernyataan tersebut sangat penting untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa keberadaan GNB masih penting dan peranannya tidak dapat dikesampingkan. Kenyataannya resolusi GNB ini tidak bermakna karena AS tetap melancarkan aksinya di Irak.
Keadaan semacam ini harusnya menyadarkan Negara-negara anggota GNB bahwa tantangan yang dihadapi tidak berkurang bahkan semakin berat di masa depan.
0 komentar:
Posting Komentar