• Selasa, 10 Maret 2020

    MAKALAH poros maritin dunia


    BAB I
    PENDAHULUAN
    A. Latar Belakang.
    Gagasan untuk menjadikan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai poros maritim dunia yang pertama kali disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pidatonya setelah pelantikan di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tanggal 20 Oktober 2014 dengan mengatakan “bahwakita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, dan memunggungi selat dan teluk, dan kini saatnya kita mengembalikan semuanya, sehingga Jalesveva Jayamahe, di laut justru kita jaya, sebagaimana semboyan nenek moyang kita di masa lalu, bisa kembali membahana”, terus mendapat perhatian luas dan respon yang sangat beragam, baik dari masyarakat di dalam negeri maupun di luar negeri.
    Meski demikian, gagasan poros maritim dunia yang digagas oleh Presiden Joko Widodo tersebut terasa berbeda dengan wacana serupa sebelumnya. Karena, gagasan mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai poros maritim dunia yang kembali disampaikan Presiden Joko Widodo dalam Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Timur ke-9 dihadapan seluruh Kepala Negara anggota Asean, pada tanggal 13 Novemver 2014 di Nay Pyi Taw, Myanmar itu lebih memberikan harapan dan rasa optimisme yang lebih kuat.
    5 (lima) pilar penting yang disampaikan Presiden Joko Widodo sebagai syarat mutlak untuk menjadikan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai poros maritim dunia, yang meliputi:
    1. diplomasi maritim Indonesia di Asean;
    2. Pemanfaatan sumber daya ekonomi laut bagi kesejahteraan rakyat Indonesia
    3. Membangun budaya maritim;,
    4. Urgensi pertahanan dan kemanan maritim;
    5. pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim Indonesia;
    harus dapat dijalankan secara selaras dengan mengikuti ketentuan dalam Pasal 33 Ayat (3) Undang-undang Dasar Tahun 1945, yang menyatakan bahwa: “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
    Posisi strategis Negara Kesatuan Republik Indonesia diantara persilangan samudra Hindia dan samudra Pasifik secara otomatis memberikan banyak potensi sumber daya ekonomi laut yang bisa dikelola dan dimanfaatkan untuk masa depan bangsa dan tulang punggung pembangunan nasional, namun pemanfaatan potensi sumber daya laut secara optimal haruslah diarahkan pada pendayagunaan sumber daya ikan dengan memperhatikan daya dukung yang ada dan kelestariannya guna meningkatkan kesejahteraan rakyat.
    Selain itu, juga diarahkan untuk meningkatkan penerimaan devisa negara, menyediakan perluasan serta kesempatan kerja, meningkatkan produktivitas, nilai tambah, daya saing hasil perikanan, serta menjamin kelestarian sumber daya ikan, tersedianya lahan budi daya ikan, dan tata ruang.
    Meski demikian, hal itu tidaklah mudah. Sebab, selama ini pembangunan nasional senantiasa dilaksanakan dengan pendekatan pembangunan konvensional. Pola pembangunan konvensional lebih mengutamakan target (kuantitas) di aspek pertumbuhan ekonomi (economic growth development) dan mengabaikan dimensi proses. Selain itu, dalam pola pembangunan konvensional, sumber daya alam dan kelestarian lingkungan pasti disubordinasikan di bawah kepentingan ekonomi dan dunia bisnis.
    Sehingga, pembangunan nasional yang didasarkan atas orientasi kuantitas pertumbuhan ekonomi semata cenderung dilakukan dengan pendekatan keamanan yang sangat represif (repressive security approach) melalui cara yang tidak lazim seperti: memarjinalisasi hak-hak penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam, perusakan lingkungan, melemahkan adat-istiadat, sistem kepercayaan masyarakat setempat, dan sebagainya.
    Kondisi diatas akan memaksa cost of development suatu negara menjadi mahal karena berpotensi menjadi hilang atau semakin terbatasnya sumber-sumber kehidupan ekonomi (economical cost), kerusakan serta degradasinya sumber daya alam (ecological cost) dan kerusakan tatanan kehidupan sosial budaya masyarakat setempat atau social and cultural cost (I Nyoman Nurjaya, 2008, hal. 3-4).
    Guna mencegah hal di atas, maka pengakuan terhadap pemerintahan desa melalui Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tentu menjadi sangat penting. Karena, sampai saat ini masih banyak desa pesisir yang belum mendapat perhatian dari pemerintah akibat belum adanya pengakuan terhadap pemerintahan desa sebagai bagian dari aparatur pemerintah yang melakukan pemerintahan serta pembangunan untuk mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang adil, makmur, sentosa, dan sejahtera, khususnya bagi masyarakat desa pesisir.
    Dengan disahkannya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang kemudian dirubah atau di revisi menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka diharapkan pemerintah Indonesia bisa memberikan perhatian kepada desa guna mengembangkan potensi potensi sumber daya ekonominya.
    Salah satu kewajiban pemerintah yang diatur di Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ialah menetapkan anggaran sebesar 10 persen dari dana perimbangan, di luar dari dana transfer daerah, yang sudah dikurangi dana alokasi khusus, yang jumlahnya diperkirakan mencapai angka Rp. 103,6 triliun per-tahun untuk dibagikan kepada 74.093 desa se-Indonesia guna mendorong roda ekonomi dan pembangunan yang di desa.
    Dengan demikian, maka setiap desa diperkirakan akan mendapatkan dana Rp. 1,4 miliar per-tahun untuk menggerakkan laju ekonomi serta pembangunan di desa. Namun, penggunaan dana desa tersebut harus tetap disinergikan dengan visi menjadikan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai poros maritim dunia.
    Sebab, sebagai negara maritim terbesar di dunia dengan wilayah laut yang mencapai 75 persen dari keseluruhan wilayah, pencapaian dari hasil sumber daya ekonomi laut Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1996 yang hanya 3 juta ton (peringkat ke-6 dunia), pada tahun 2004 menjadi 7,5 juta (peringkat ke-4 dunia), dan di tahun 2013 sebesar 19,3 juta ton (peringkat ke-3 dunia), masih jauh dari besarnya potensi yang dimiliki (Rokhim Dahuri, 2014, hal. 2-3).
    Selain itu, kontribusi yang diperoleh dari seluruh sektor kelautan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sebesar 20 persen, padahal di negara-negara yang potensi sumber daya ekonomi lautnya jauh lebih kecil dari pada Indonesia, seperti: Islandia, Norwegia, Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok, kontribusi dari sumber daya ekonomi lautnya terhadap PDB sudah berada di atas 30 persen.
    Untuk itu, maka arah pembangunan nasional ke depan haruslah diarahkan pada upaya-upaya optimalisasi pengelolaan potensi sumber daya ekonomi laut di desa pesisir. Dengan mengoptimalkan pengelolaan potensi ekonomi laut yang ada di desa pesisir, maka Negara Kesatuan Republik Indonesia akan bisa mewujudkan gagasan poros maritim dunia dan memberdayakan masyarakat pesisir.
    Di awal tahun ini, pemerintah telah berupaya untuk dapat merealisasikan gagasan poros maritim dunia melalui upaya percepatan pembangunan desa pesisir dengan meningkatkan dana desa dari yang awalnya hanya Rp. 9,1 triliun menjadi 20,77 triliun. Namun, setelah anggaran dana desa itu disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bukan berarti 74.093 desa di Tanah Air bisa segera menerima serta menikmatinya. Sebab, begitu banyak aral yang menghadang, mulai dari perebutan urusan kewenangan antara Kementerian Dalam Negeri dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, hingga tidak secepatnya dana tersebut disalurkan ke desa, padahal dana desa itu telah dicairkan oleh pemerintah pusat ke rekening pemerintah kabupaten/kota.
    Persoalan menjadi semakin rumit karena tidak semua aparatur pemerintah desa terbiasa dengan urusan administrasi yang menjadi syarat pencairan dari dana desa. Sementara pendamping dari pemerintah yang diharapkan bisa meningkatkan kapasitas aparatur pemerintah desa ternyata baru datang menjelang akhir tahun. Sehingga, pelaksaan program dana desa di tahun pertama ini tidak berjalan mulus, karena hingga akhir November 2015 masih ada 5.026 desa yang belum menerima dana desa tersebut (Antony Lee, Opini Harian Kompas, 15 Desember, Perubahan di Pelosok Negeri, hal. 7)..
    Sementara itu bagaimana dengan persiapan desa pesisir Kota Surabaya, yang selama ini selain terkenal sebagai kota industri dan juga salah satu kawasan maritim di Indonesia, dalam milik Indonesia sebagai poros maritim dunia tersebut.


    B. Rumusan Masalah.
    Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka didapatkan rumusan masalah sebagaimana berikut “bagaimana upaya untuk mengoptimalkan pengelolaan potensi sumber daya ekonomi laut desa pesisir di Kota Surabaya untuk mewujudkan poros maritim dunia”.
    C. Tujuan.
    1. Untuk mengetahui potensi ekonomi laut di desa pesisir Kota Surabaya.
    2. Untuk merumuskan upaya-upaya optimalisasi pengelolaan potensi sumber daya ekonomi laut di desa pesisir Kota Surabaya untuk mewujudkan poros maritim dunia.

    D. Manfaat.
    1. Bagi tim penulis, sebagai media pembelajaran untuk dapat mengetahui potensi ekonomi laut yang ada di desa pesisir Kota Surabaya.
    2. Bagi Pemerintah, sebagaibahan masukandan saran tentang upaya yang dapat diambilsebagai kebijakan untuk mengoptimalkan pengelolaan potensi sumber daya ekonomi laut di desa pesisir Kota Surabaya di dalam rangka menjadikan Negara Kesatuan Republiik Indonesia sebagai porosmaritimdunia.
    3. Bagi Masyarakat, sebagaimedia informasidan pengetahuan mengenai potensisumberdayaekonomi lautyang ada di desa pesisir Kota Surabaya.

    Untuk Lebih Lengkap
    Silahkan Download Di Sini!!!
    Cara Download :
    1. Klik Link/ Tulisan Download
    2. Anda akan menemukan halaman baru adf.ly/
    3. Klik pojok kanan atas Skip.
    4. Pilih tombol Allow pada pojok kiri atas
    5. Kini anda bisa Download  Gratis

    Artikel Terkait:

    0 komentar:

    Posting Komentar

    >