Lampiran I
Modal Sosial untuk Berpartisipasi
Kalau dalam fragmen pertama, konteks pembicaraan partisipasi adalah hubungan pemerintah dengan masyarakat, dan dalam fragmen kedua dipaparkan persoalan partisipasi dalam tubuh penyelenggara pemerintahan, dalam paparan berikut ini kita simak problematika partisipasi antar sesama warga masyarakat. Pengamatan penyelenggaraan Program Pengembangan Kecamatan di Kalibawang, Kulon Progo bisa disajikan untuk itu.
Di berbagai kecamatan di negeri ini dilangsungkan proyek penanggulangan kemiskinan, dengan mengandalkan institusi kelompok sebagai basis penggalangan partisipasi dalam penyelenggaraan proyek. Ide dasarnya, kelompok-kelompok yang sudah terlembaga dalam masyarakat diberi pijaman modal. Modal yang diberikan kepada kelompok sebetulnya adalah dana dari pemerintah (yang didapat dari World Bank), yang sekali diberikan ke masyarakat menjadi milik kolektif masyarakat, namun harus dikeloka secara bergulir. Mekanismenya, kelompok meminjam dana secara kolektif, dan memanfaatkannya untuk usaha perorangan. Tantangan yang harus diatasi dalam mengelola proyek ini adalah, memastikan para peminjam tetap saja membayar cicilan meskipun mereka tahu dana yang diberikan pemerintah tidak perlu dikembalikan kepada pemerintah lagi. Yang diharapkan justru sebaliknya, dalam masyarakat tumbuh rasa memiliki asset kolektif, yang bisa dimanfaatkan untuk kemajuan bersama.
Kelompok seperti apa sih bisa menjadi basis atau andalah bagi kesuksesan program ini ? Pertama, kelompok tersebut bukan kelompok yang dibentuk hanya untuk mengelola dana. Kelompok yang dilibatkan adalah kelompok yang anggota-anggotanya sudah memiliki solidaritas antar sesamanya, dan solidaritas ini sudah teruji dalam jangka waktu yang relatif lama. Kedua, kelompok tersebut sanggup mengambil keputusan secara kolektif, termasuk didalamnya mampu menerapkan sanksi terhadap penyimpangan terhadap kesepakatan yang mereka musyawarhkan. Singkat kata, kesediaan untuk berpartisipasi, termasuk di dalamnya untuk mengikatkan diri dengan aturam main kolektif, sebanding dengan rasa saling percaya diantara mereka. Mereka bersedia berpartisipasi dalam menunaikan agenda kelompok kalau mereka yakin bahwa mereka tidak akan dikhianati anggota yang lain.
Meskipun dana yang diberikan pemerintah cukup besar, permintaan masyarakat akan dana tersebut tetap saja lebih tinggi dari pada dana yang tersedia. Oleh karena itu, harus ada mekanisme untuk mendistribusikan dana yang relatif terbatas tersebut. Agar dana bisa termanfaatkan untuk kepentingan produktif, maka kelompok-kelompok yang sudah ada (dikondisikan untuk menjadi peserta program ini) diwajibkan untuk mengajukan proposal. Agar proposal mereka tidak sekedar memenuhi syarat formal namun juga menjanjikan kesuksesan, maka proposal ini dinilai oleh tim Verifikasi. Hasil penilaian ini menjadi pertimbangan para peserta rapat lintas kelompok dalam pedukuhan yang bersangkutan, yang sedang berunding untuk menyepakati kelompok mana yang bisa mendapatkan dana dan kelompok mana yang tidak bisa. Keputusan formal ada pada forum rapat, namun pertimbangan teknis (kelayakannya) sudah dikaji oleh fihak-fihak yang kompeten untuk itu. Dari forum ini bisa didapatkan kesepakatan yang mengikat pada level pedukuhan.
Karena dana yang diminta setiap pedukuhan dalam suatu desa tidak mencukupi, maka pada level desa harus dilakukan sensor proposal kelompok mana, yang tidak bisa didanai. Mekanisme yang berlaku pada level dusun berlaku dalam pembahasan pada level desa. Begitu juga halnya pada level kecamatam.
Pelajaran penting yang bisa kita petik dari pengalaman Kalibawang adalah bahwa kesuksesan program ini sangat ditopang oleh apa yang mereka sebut sebagai mekanisme tanggung renteng. Penjabaran teknis dari mekanisme ini berbeda dari satu kelompok ke kelompok lain, namun pada dasarnya setiap warga ikut bertanggung jawab terhadap penyimpangan di lingkungan terdekatnya. Dia mendapatkan sanksi dari komunitas yang lebih luas kalau membiarkan penyimpangan tersebut berlanjut. Misalnya, kalau ada anggota kelompok yang tidak patuh pada mekanisme yang ada, maka seluruh anggota kelompok menerima sanksi dari tingkat dusun. Kalau suatu dusun gagal menunaikan kewajibannya, maka seluruh dusun di desa itu ikut terkena sanksi. Dengan cara itu maka masyarakat terbiasa mengembangkan kontrol sosial. Dengan mekanisme itu penyimpangan penggunaan dana berada pada level minimum.
Lebih dari itu, penggunaan mekanisme tanggung renteng ini pada gilirannya mengiring masyarakat untuk merasa tidak fair kalau dana dari pemerintah tadi dibelanjakan untuk pembangunan fisik. Mengapa demikian ? Yang telah membelanjakan untuk pembangunan fisik tidak memiliki kewajiban untuk mengembalikan dana, dan pada saat yang sama memiliki sarana fisik yang lebih baik. Situasi seperti ini telah menjadikan seluruh dana PPK di Kalibawang terserap habis untuk kegiatan simpan pinjam. Pemerintah membuka peluang untuk menggunakan dana tersebut untuk melakukan pembangunan fisik, namun yang terjadi justru terserap untuk simpan-pinjam yang pada gilirannya menghasilkan akumulasi dan perputaran dana yang semakin membesar. Dari penyisihan keuntungan dari kegiatan simpan pinjam itulah pembangunan fisik didanai. Kegiatan-kegiatan untuk menjangkau kelompok miskin absolut bisa dilakukan setelah kelompok miskin produktif berhasil mengembangkan diri.
0 komentar:
Posting Komentar