• Selasa, 12 Maret 2013

    Karier politik JOKOWI Wali kota Surakarta

     Karier politik
    Wali kota Surakarta
    Dengan berbagai pengalaman di masa muda, ia mengembangkan Solo yang buruk penataannya dan berbagai penolakan masyarakat untuk ditertibkan. Di bawah kepemimpinannya, Solo mengalami perubahan dan menjadi kajian di universitas luar negeri.[10]
    Rebranding Solo
    Branding untuk kota Solo dilakukan dengan menyetujui slogan Kota Solo yaitu "Solo: The Spirit of Java". Langkah yang dilakukannya cukup progresif untuk ukuran kota-kota di Jawa: ia mampu merelokasi pedagang barang bekas di Taman Banjarsari hampir tanpa gejolak untuk merevitalisasi fungsi lahan hijau terbuka, memberi syarat pada investor untuk mau memikirkan kepentingan publik, melakukan komunikasi langsung rutin dan terbuka (disiarkan oleh televisi lokal) dengan masyarakat. Taman Balekambang, yang terlantar semenjak ditinggalkan oleh pengelolanya, dijadikannya taman. Jokowi juga tak segan menampik investor yang tidak setuju dengan prinsip kepemimpinannya.[11] Sebagai tindak lanjut branding ia mengajukan Surakarta untuk menjadi anggota Organisasi Kota-kota Warisan Dunia dan diterima pada tahun 2006. Langkahnya berlanjut dengan keberhasilan Surakarta menjadi tuan rumah Konferensi organisasi tersebut pada bulan Oktober 2008 ini. Pada tahun 2007 Surakarta juga telah menjadi tuan rumah Festival Musik Dunia (FMD) yang diadakan di kompleks Benteng Vastenburg yang terancam digusur untuk dijadikan pusat bisnis dan perbelanjaan. FMD pada tahun 2008 diselenggarakan di komplek Istana Mangkunegaran.
    Mendamaikan Keraton Surakarta
    Pada tanggal 11 Juni 2004, Paku Buwono XII wafat tanpa sempat menunjuk permaisuri maupun putera mahkota, sehingga terjadi pertentangan antara kedua putranya, Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan (SDISKS) Paku Buwono XIII dan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Panembahan Agung Tedjowulan. Selama tujuh tahun ada dua raja yang ditunjuk oleh kedua pihak di dalam satu Keraton.[12]
    Konflik ini akhirnya mendorong campur tangan pemerintah Republik Indonesia dengan menawarkan dualisme kepemimpinan, dengan Paku Buwono XIII sebagai Raja dan KGPH Panembahan Agung Tedjowulan sebagai wakil atau Mahapatih. Penandatanganan kesepahaman ini didukung oleh empat perwakilan menteri, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Pekerjaan Umum serta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Namun konflik belum selesai karena beberapa keluarga keraton masih menolak penyatuan ini.[13]
    Puncaknya adalah penolakan atas Raja dan Mahapatih untuk memasuki Keraton pada tanggal 25 Mei 2012. Keduanya dicegat di pintu utama Keraton di Korikamandoengan.[14] Jokowi akhirnya berperan menyatukan kembali perpecahan ini setelah delapan bulan menemui satu per satu pihak keraton yang terlibat dalam pertentangan.[15] Pada tanggal 4 Juni 2012 akhirnya Ketua DPR Marzuki Alie menyatakan berakhirnya konflik Keraton Surakarta yang didukung oleh pernyataan kesediaan melepas gelar oleh Panembahan Agung Tedjowulan, serta kesiapan kedua keluarga untuk melakukan rekonsiliasi.[16]
    Penghargaan
    Atas prestasinya, oleh Majalah Tempo, Joko Widodo terpilih menjadi salah satu dari "10 Tokoh 2008".[17] Kebetulan di majalah yang sama pula, Basuki Tjahaja Purnama, atau akrab dengan panggilan Ahok pernah terpilih pula dalam "10 Tokoh 2006" atas jasanya memperbaiki layanan kesehatan dan pendidikan di Belitung Timur. Ahok kemudian akan menjadi pendampingnya di Pilgub DKI tahun 2012.[18]
    Pada tanggal 12 Agustus 2011, ia juga mendapat penghargaan Bintang Jasa Utama untuk prestasinya sebagai kepala daerah mengabdikan diri kepada rakyat.[19] Bintang Jasa Utama ini adalah penghargaan tertinggi yang diberikan kepada warga negara sipil. [20]





    Artikel Terkait:

    0 komentar:

    Posting Komentar

    >