• Senin, 12 Agustus 2013

    Teori-Teori Tentang Kekerasan

    http://adf.ly/FdHa9



    Teori Faktor Individual
    Beberapa ahli berpendapat bahwa setiap perilaku kelompok,
    termasuk perilaku kekerasan, selalu berawal dari perilaku
    individu. Faktor penyebab dari perilaku kekerasan adalah
    faktor pribadi dan faktor sosial. Faktor pribadi meliputi kelainan
    jiwa. Faktor yang bersifat sosial antara lain konflik rumah
    tangga, faktor budaya dan faktor media massa.
    Teori Faktor Kelompok
    Individu cenderung membentuk kelompok dengan
    mengedepankan identitas berdasarkan persamaan ras, agama
    atau etnik. Identitas kelompok inilah yang cenderung dibawa
    ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain. Benturan
    antara identitas kelompok yang berbeda sering menjadi
    penyebab kekerasan.
    Teori Dinamika Kelompok
    Menurut teori ini, kekerasan timbul karena adanya deprivasi
    relatif yang terjadi dalam kelompok atau masyarakat. Artinya,
    perubahan-perubahan sosial yang terjadi demikian cepat
    dalam sebuah masyarakat tidak mampu ditanggap dengan
    seimbang oleh sistem sosial & masyarakatnya.

    •    Redaksi
    •    Tarif Iklan
    •    Surat Anda
    Bahaya Konflik dan Kekerasan

    Moch. Fay Setiawan
    TIADA hari tanpa konflik dan kekerasan. Inilah fenomena terkini yang sedang melanda negeri ini. Konflik dan kekerasan seolah sudah menjadi budaya laten dalam masyarakat kita. Sejak zaman kerajaan hingga sekarang, Indonesia tidak pernah luput dari berbagai konflik. Mulai dari konflik vertikal yang melibatkan aktor-aktor negara, hingga konflik horisontal antarmasyarakat.
    Dalam kasus terkini, konflik yang disertai dengan kekerasan masih merebak. Kekerasan lewat aksi terorisme, bentrokan antarpendukung dalam pilkada, tawuran antarpelajar dan antarmahasiswa, tawuran antarkampung, serta pertikaian antarsuporter sepak bola. Sampai kapan kita akan digerogoti dan disandera konflik multidimensi seperti ini?
    Konflik dan kekerasan tidak mustahil mampu membawa bangsa ini ke taraf yang sangat berbahaya. Apalagi jika kekerasan dianggap sebagai solusi dari permasalahan. Sungguh sangat disayangkan, bila kemudian hukum rimba dijadikan alasan untuk menyelesaikan masalah. Artinya, yang melaksanakan hukum itu adalah kekuatan, bukan hukum itu sendiri.
    Anarki itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, kenapa terjadi contohnya karena masalah lahan atau antarperusahaan dengan warga. Itu berarti yang diperbaiki cara pengambilan keputusannya. Kalau ada kesempatan dan kemudian dilaksanakan, pemerintah pun harus tegas.
    Konflik dan kekerasan adalah deprivasi kepentingan dan penistaan terhadap kebutuhan dasar atau kehidupan manusia dalam bentuk kekerasan kultural, struktural, dan kekerasan langsung.
    Kekerasan kultural adalah unsur-unsur budaya yang menjadi wilayah simbolis eksistensi manusia yang menjustifikasi dan melegitimasi kekerasan struktural dan langsung. Kekerasan struktural merupakan kekerasan berstruktur atau terkait dengan struktur tertentu. Kekerasan langsung adalah kekerasan secara langsung terhadap fisik manusia dan sejenisnya.
    Dalam tiga kekerasan itu, nalar kekerasan menjadi dasar yang menjadikan kekerasan dianggap sebagai sesuatu yang biasa atau dapat ditoleransi dan sah dilakukan. Sebagai dampaknya, terjadi spiral kekerasan. Spiral kekerasan pada awalnya berujung pada ketidakadilan dan penindasan. Ketidakadilan di sini dalam pengertian yang luas, dari kebijakan sosial, politik, ekonomi yang timpang hingga hukum yang tebang pilih. Demikian pula pengertian penindasan yang dalam realitasnya sering atau selalu berselingkuh dengan ketidakadilan dalam kebijakan, tindakan, dan sebagainya.
    Memang, ketidakadilan dan penindasan sebagai kekerasan struktural tidak selalu menjadi pemicu. Dalam realitasnya, kekerasan lebih merupakan lingkaran setan yang sulit dilacak ujung pangkalnya.
    Menyikapi kekerasan struktural itu, masyarakat pada awalnya diam karena tidak berdaya. Namun, emosi mereka tentu tidak pernah mati. Kekerasan yang bertubi-tubi membuat mereka bak timbunan rumput kering yang mudah tersulut api. Dalam kondisi yang benar-benar tidak berdaya, akhirnya mereka secara reflektif melakukan perlawanan.
    Kekerasan struktural juga dapat berimbas pada terjadinya konflik horisontal. Umumnya disebabkan karena penerapan kebijakan yang tidak adil, segregatif, yang memicu jurang perbedaan yang luas di antara golongan masyarakat.
    Kita sadar, ancaman konflik dan kekerasan di Indonesia dapat datang setiap saat dengan pola dan modus yang bermacam-macam. Oleh karena itu, diperlukan strategi resolusi konflik yang jitu, teruji, dan dapat dipertanggungjawabkan bersama-sama.
    Mediasi merupakan cara penyelesaian konflik yang efektif, demokratis dan telah teruji dalam menyelesaikan berbagai konflik horisontal yang pernah terjadi di Indonesia. Selebihnya, kita membutuhkan penegak hukum yang benar-benar bersih dan adil untuk mengantisipasi dan menyelesaikan berbagai konflik.***






















    Artikel Terkait:

    0 komentar:

    Posting Komentar

    >