• Rabu, 05 September 2012

    pencapaian yang ti peroleh Rosihan Anwar



    Sistem kartu

    Pencapaian lain yang dinilai memuaskannya adalah ketika menulis serial reportase kunjungan Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Khrushchev tahun 1960. Ia mengikuti kunjungan Khrushchev itu di Bandung, Yogyakarta, Bali, dan Maluku selama dua minggu. Ia tahu kantor berita telah menulis fakta. Maka ia menulis kisah di balik fakta dan warna-warnanya, misalnya Bung Karno yang berdansa di Istana Tampak Siring. Ia memberi judul Safari Nikita. Orang pun senang membacanya karena disajikan dengan storytelling (bercerita).

    Sampai sekarang, Rosihan masih rajin membaca buku. Yang lagi diminatinya sekarang adalah buku setebal 1.200-an halaman karya wartawan Belanda Geert Mak berjudul In Europa, reizen door de twintigste eeuw (Di Eropa, Berjalan-jalan Selama Abad 20). Ia tidak bisa berhenti membacanya karena menarik. Kalimatnya pendek dan bergaya soundbite (kutipan-kutipan pendek yang penting dan menarik).

    Banyak orang mengira Rosihan hebat karena bisa mengingat berbagai detail peristiwa berpuluh tahun lalu ketika menulis in memoriam. Padahal, menurut dia, detail itu bisa muncul karena dibantu pengetahuan karena membaca buku dan rajin membuat catatan berbagai hal dalam kartu. Sistem kartu itu ditiru dari Soedjatmoko yang baru pulang dari Cornel University, Amerika Serikat, berpuluh tahun lalu. Dalam kartu yang sudah tampak menguning itu, ia mencatat kutipan-kutipan penting dari berbagai buku dan majalah tentang berbagai hal menarik.

    Baru-baru ini, ketika Roeslan Abdulgani meninggal dunia, ia sempat berpikir apa yang baru dari tokoh ini untuk ditulis in memoriam-nya karena sudah pernah ditulisnya saat Roeslan berusia 90 tahun pada 24 November 2004.

    Dalam perkembangan zaman, segalanya telah berubah. Teknologi informasi telah demikian maju sehingga wartawan sekarang sebetulnya sudah lebih mudah bekerja. Fenomena tabloidisme sudah tidak bisa terhindarkan karena pengaruh televisi. Tulisan-tulisan harus pendek, tetapi tetap berisi.

    Kalau di televisi ada soundbite, maka itu sekarang ditransfer ke koran. Untuk kedalamannya, ia mesti berusaha jangan terlalu multifokus, ujar suami Siti Zuraida Sanawi dengan tiga anak itu.

    Berbeda dengan ketika memutuskan menjadi wartawan tahun 1943 yang idealisme untuk memerdekakan rakyat lebih menonjol, Rosihan dapat memaklumi jika perkembangan pers dewasa ini lebih memenuhi kebutuhan bisnis.

    Mencermati tulisan-tulisan wartawan muda masa kini, Rosihan secara umum merasa tak puas. Banyak yang tidak menarik baginya. Betapa ruwetnya tulisan dan ada rasa ingin pamer dari si penulis. Harus dikuasai dulu materinya dengan membaca buku, nanti keluarnya mudah. Kalau tidak perlu betul, tak usah pakai bahasa Inggris, kata alumnus Algemeene Middlebare School Bagian A II Yogyakarta tahun 1942 itu.

    Dari pergaulannya dengan orang-orang sosialis seperti Sjahrir pada zaman revolusi, ia mengenal faham sosialisme demokrat, yang intinya wartawan harus berjuang menegakkan martabat manusia (human dignity). Kalau saya retrospeksi ke belakang, pers sekarang sudah berubah menjadi bisnis. Wartawan menjadi buruh, ujarnya.

    Meskipun demikian, menurut Rosihan, tak berarti pers sekarang tak punya idealisme karena kalau tak ada idealisme wartawan cuma buruh intelektual.
    Rosihan berharap, wartawan sekarang mencari kepuasan bekerja, walaupun dia cuma bagian dari pabrik besar. Namun, tetap tidak melupakan sejarah dan tradisi pers Indonesia, yaitu mesti selalu tampil membela wong cilik

    Artikel Terkait:

    0 komentar:

    Posting Komentar

    >