Perkataan ‘Kanayatn’ di kalangan suku Dayak Bakati’, Banana’-Ahe, dan Badamea di Kabupaten Bengkayang menjadi suatu istilah yang agak rancu. Seolah-olah diperebutkan untuk menamakan identitas global setiap subsuku Dayak di kabupaten ini. Hingga sekarang, istilah Kanayatn menjadi begitu penting untuk dibahas dalam perbincangan tentang Dayak khususnya pada orang-orang Dayak yang bermukim di wilayah Kabupaten Bengkayang, Sambas, Pontianak, dan Landak.
Istilah Kanayatn/Kanayat di kalangan suku Dayak Bakati’ dianggap sebagai istilah untuk menamakan seluruh orang-orang Dayak yang berbahasa Bakati’. Sedangkan bagi orang-orang Dayak yang berbahasa Banana’-Ahe dengan semua variannya istilah Kanayatn sudah cukup jauh merasuk ke dalam sanubari mereka, sehingga mereka mengidentikan diri mereka sebagai Dayak Kanayatn walaupun istilah ini masih baru bagi mereka.
Sejak diterbitkannya buku karangan Pastor Donatus Dunselman tahun 1949 dalam bahasa Belanda yang berjudul Bijdrage tot de kennis van de taal en adat der Kendajan Dajaks van west-Borneo, perbincangan tentang Dayak Kendayan menjadi semakin hangat. Ada kalangan penulis Dayak memperkirakan bahwa, kemungkinan Pastor Donatus Dunselman yang meneliti di beberapa kampung Dayak yang berbahasa Banana’, seperti Pak Kumbang, Tiang Tanjung, Ambawang, dan di beberapa kampung yang menjadi tempat pelayanan beliau, keliru menamakan orang-orang Dayak yang berbahasa Banana’ sebagai orang Kanayatn (Kendayan) (lihat Simon Takdir, 2002).
Dunselman yang meneliti di Kampung Pakumbang dengan fokus pada cerita-cerita rakyat dan lagu-lagu sakral, seperti baliatn dan balenggang untuk pengobatan menemukan adanya pengaruh bahasa Melayu terhadap bahasa ini (Kendayan). Sejak itu, istilah Kendayan atau Kanayatn kemudian semakin dipopulerkan di kalangan orang-orang Dayak yang berbahasa Banana’ dengan segala variannya. Notherfer (1997) menyebutnya Melayik. Dunselman sendiri dalam Cense dan Uhlenbeck (1958:15) menyebut orang-orang yang berbahasa Bakati’ Rara sebagai “Old-Kendayan” atau Kendayan Tua. Orang-orang Dayak yang hidup sebelum tahun 1950-an yang menuturkan bahasa Banana’ bersaksi bahwa pada waktu mereka kecil istilah Kanayatn atau Kendayan ini belum dikenal. Pada waktu itu orang-orang Dayak di Kabupaten Pontianak, Landak, Bengkayang, dan Sambas menyebut diri mereka menurut istilah lokal. Dunselman juga menyebutkan beberapa subsuku Dayak yang beliau temui pada waktu itu, yaitu Dayak Ambawang, Dayak Ritok, Dayak Sambas, Dayak Tayan, Dayak Landak, Dayak Balantian, Dayak Temila, dan Dayak Manyuke.
Keberhasilan Partai Dayak mendudukan Oevang Urray, salah seorang tokoh Dayak dari Kapuas Hulu menjadi gubernur pertama Dayak di Kalimantan Barat pada masa Pemerintahan Orde Lama membuka cakrawala baru bagi orang Dayak untuk lebih aktif berpartisipasi dalam bidang politik. Sayang sekali, pada masa itu masih sangat sedikit orang-orang Dayak yang mengenyam pendidikan. Jika ada, itu pun berkat jasa dari sekolah misi Katolik yang dibangun oleh Misionaris Katolik asal Negeri Belanda, seperti yang diperoleh Gubernur Oevang Urray. Pada masa itu, kebutuhan untuk menyatukan orang Dayak dalam satu wadah dipandang begitu mendesak. Muncullah Partai Dayak, Partai Katolik, dan berbagai organisasi kemasyarakatan yang berusaha mencari rumusan tentang wadah yang cocok untuk menyatukan Dayak.
Dengan jatuhnya kekuasaan Orde Lama dan dilarangnya partai politik yang berbau kesukuan hidup di Indonesia, maka masa kejayaan orang-orang Dayak menjadi singkat. Mereka tidak tahu ke mana harus mengaspirasikan suara mereka (lihat Albertus, 2003).
Para politikus Dayak pada awal Orde Baru melihat peluang yang besar untuk menyatukan Dayak di Partai Golkar. Dengan demikian, istilah Kanayatn atau Kendayan ini kemudian semakin dikuatkan lagi sebagai sarana pemersatu suku Dayak di Kabupaten Pontianak dan Sambas sebelum pemekaran kedua wilayah ini. Malah, istilah Kanayatn ini semakin disosialisasikan di kalangan orang-orang Dayak yang berbahasa Banana'/Ahe dengan segala variannya.
Hal ini terbukti dengan adanya Kongres Dayak Kanayatn pada tahun 1985 di Anjungan yang melahirkan Gawai Naik Dango setiap tahun di Kabupaten Pontianak (sekarang Kabupaten Pontianak dan Landak).
Para politisi Golkar menggunakan istilah ‘Kanayatn atau ‘Kendayan’ untuk mengumpulkan suara orang Dayak Banana'-Ahe dengan berbagai variannya yang mayoritas di Kabupaten Pontianak. Sejak saat itu, Golkar menjadi partai yang tidak terkalahkan dalam meraih suara terbanyak pada setiap Pemilihan Umum di seluruh Indonesia termasuk di kalangan suku Dayak Kanayatn. Istilah ‘Kanayatn’ atau ‘Kendayan’ kemudian semakin dipopulerkan oleh para mahasiswa Dayak di tingkat Universitas pada tahun 1980-an. Buktinya adalah munculnya tulisan mengenai Dayak Kanayatn di Mimbar Untan yang ditulis oleh Martinus Ekok.
Pada tanggal 1 April 1992 muncul siaran dalam bahasa Dayak Kanayatn di RRI Pontianak yang tidak lain adalah bahasa Banana’atau Ba’ahe sekarang ini. Dengan demikian, istilah Kanayatn atau Kendayan untuk memberi identitas pada orang-orang Dayak yang menuturkan bahasa Banana’ atau Ba’ahe dengan seluruh variannya menjadi semakin berurat berakar pada orang-orang Dayak di Kabupaten Pontianak (sekarang Pontianak dan Landak) dan Sambas (sekarang Sambas dan Bengkayang). Pada waktu pertama kali muncul siaran Dayak Kanayatn ini, orang-orang Bakati’ di Bengkayang mengira bahwa bahasa yang akan digunakan adalah bahasa Bakati’.
Institut Dayakologi sejak berdiri tahun 1991 juga selalu menggunakan istilah Kanayatn atau Kendayan untuk menyebut orang-orang Dayak yang menuturkan bahasa Banana' atau Ba’ahe ini. Buktinya berupa terbitan-terbitan buku dan artikel yang membahas tentang Dayak Kanayatn.
Publikasi itu misalnya seperti yang ditulis oleh Nico Andasputra dalam bukunya yang berjudul Mencermati Dayak Kanayatn, Albert Rufinus dalam berbagai terbitan oleh Institut Dayakologi, dan penulis yang lain serta berbagai artikel yang diterbitkan di majalah Kalimantan Review (KR).
Albert Rufinus dan Tim Peneliti Dayak Kanayatn (2003) yang menulis buku tentang Tradisi Lisan Dayak Bukit di Sengah Temila masih rancu dan ragu-ragu menggunakan istilah Dayak Bukit. Buktinya, subjudul buku (Bab 2) hanya menggunakan istilah Tradisi Lisan Dayak Bukit. Namun seluruh isi dan pembahasan menggunakan istilah Kanayatn. Majalah Kalimantan Review Nomor 07 Tahun 3 April – Juni 1994 Halaman 33-34 menyoroti dua jenis pesta padi orang Dayak Kanayatn, yaitu Pesta Naik Dango Dayak Kanayatn (27 April 1994) di Kabupaten Pontianak yang pada waktu itu diselenggarakan di Serimbu, Kecamatan Air Besar dan Pesta Maka’ Dio (28 Mei 1994), upacara syukuran selepas panen pada masyarakat Dayak Kanayatn di Kabupaten Sambas. Pada waktu itu Kabupaten Sambas dan Bengkayang masih menyatu dalam Kabupaten Sambas.
Apa yang disoroti oleh KR pada waktu itu adalah dua jenis upacara adat pesta padi pada suku Dayak Bakati’, dan Dayak Banana’-Ahe dengan semua variannya. Namun istilah yang digunakan samasama sebagai Dayak Kanayatn, walaupun sangat jelas sekali secara kebahasaan mereka menuturkan dua bahasa dengan adat istiadat yang berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa istilah Kanayatn sama-sama dipakai oleh orang-orang Bakati’ dan orang-orang Banana’-Ahe, Badamea, Ampape, Banane’, dengan semua variannya untuk menamakan kelompok suku mereka. Albert Rufinus (1994:12-19) yang meneliti tentang Pengetahuan Dayak Kanayatn dalam Tradisi Lisan di Binua Talaga-Pahauman secara jelas menyebut identitas Dayak Kanayatn Bukit Talaga (hal 12), dan menyebutkan 10 kecamatan di Kabupaten Pontianak (sekarang Pontianak & Landak), yaitu Kecamatan Anjungan, Toho’, Mandor, Menjalin, Karangan, Banyuke (Menyuke), Sengah Temila, Ngabang, Air Besar, dan Ambawang sebagai kecamatan-kecamatan masyarakat Kanayatn (hal 17-18).
Hampir seluruh tulisan di KR masih merujuk istilah Kanayatn untuk kelompok suku Dayak yang menuturkan bahasa Banana’-Ahe dengan segala variannya. Para sarjana dan ilmuan Dayak secara konsisten menggunakan istilah Kanayatn untuk menamakan penutur bahasa Banana’-Ahe, Badamea-Jare,Baampape dengan semua variannya. Seselia Seli (1996) dan Sujarni (1993) menulis cerita Riya Sinir dan Dara Itapm secara konsisten menggunakan istilah Kanayatn untuk menamai kelompok masyarakat pemilik tradisi ini. Demikian juga halnya dengan Dalawi (1996) yang menulis tentang Cerita Bukit Batu Sastra Lisan Dayak Kanayatn Kabupaten Pontianak, dan Hendrikus (1991) yang menulis tentang A Descriptive Study on Kandayan Simple Sentence.
Jadi, tidak diragukan lagi bahwa istilah ini sudah populer di kalangan orang Banana’-Ahe, Badamea, Baampape dengan semua variannya. Walaupun ada dugaan bahwa istilah Kanayatn telah dipolitisasi sedemikian rupa, namun fakta yang ada menunjukkan bahwa istilah ini tidak dapat dihilangkan begitu saja di kalangan orang-orang Dayak yang berbahasa Banana’-Ahe dengan segala variannya. Istilah ini telah menjadi bagian dari identitas orang-orang Dayak Banana’-Ahe dengan segala variannya yang menyebar di Kabupaten Pontianak, Landak, Bengkayang, dan Sambas.
Dalam perjalanan penelitian lapangan etnolinguistik di Kabupaten Pontianak, Landak, Bengkayang, dan Sambas dari tahun 1998 hingga tahun 2003, peneliti menemui beberapa kenyataan yang unik tentang istilah Kanayatn. Hampir di seluruh wilayah orang-orang Banana’-Ahe, Badamea-Jare, Baampape, Banane’, bahkan di beberapa Kampung Balangin, penulis bertanya kepada mereka, “Kalian ini disebut Dayak apa?” atau “subsuku Dayak apa?” hampir semua pertanyaan seperti ini, selalu dijawab, “Kami Dayak Kanayatn.”
Jika ditanya lagi, “Apa yang melatarbelakangi penyebutan Kanayatn ini?” atau “Bagaimana sejarahnya sampai disebut Dayak Kanayatn?” Mereka agak sukar menjawab pertanyaan ini. Yang mereka ketahui adalah bahwa mereka adalah orang-orang Kanayatn. Jika mereka dapat berbahasa Banana’-Ahe dengan varian- variannya maka mereka adalah Dayak Kanayatn.
Sewaktu melakukan penelitian di wilayah orang-orang Bakati’ dan Bakambai (dua bahasa yang sebetulnya sama), penulis malah dihadapkan dengan kenyataan bahwa Kanayatn atau Kanayat (penyebutan menurut logat wilayah adat) adalah sebuah istilah untuk menamakan seluruh penutur bahasa Bakati’ di Kabupaten Bengkayang, Sambas, dan Landak, serta bahasa Bakambai (Varian Banyadu’) di Kecamatan Meranti, Kabupaten Landak.
Hal ini sebetulnya pernah dikatakan oleh Pastor Dunselman (1949) yang menyebut Dayak Bakati’ Rara sebagai Old Kendayan atau Kanayatn Tua. Walaupun istilah Kendayan ini dipopulerkan pada orang-orang yang menuturkan bahasa Banana’-Ahe dengan segala variannya, namun istilah ini tidak lenyap di kalangan orang-orang Bakati’. Hal ini dikarenakan faktor budaya terutama tradisi lisan yang menyatukan istilah ini dengan orangorang Bakati’.
Penjelasan yang telah dipaparkan di atas memperjelas bahwa istilah Kanayatn adalah milik orang-orang yang menuturkan bahasa Bakati’ dan Banana’-Ahe dengan segala variannya. Jadi menurut hemat penulis, istilah Kanayatn ini secara politis sebetulnya mengguntungkan karena dapat dijadikan sebagai wadah untuk menyatukan orang-orang Dayak di Kabupaten Pontianak, Landak, Bengkayang, dan Sambas. Jika ditanggapi secara positif tidak akan menyebabkan pertentangan di kalangan suku Dayak di keempat kabupaten tersebut.Di kalangan suku Dayak Bakati’ dan Banana’, kata Kanayatn mempunyai arti yang berbeda-beda. Bahkan di kalangan sesama suku Dayak Bakati saja, pengertian Kanayatn pun tidak sama. Demikian juga halnya di kalangan sesama orang-orang yang menuturkan bahasa Banana’-Ahe, Badamea-Jare, dengan semua variannya.
Perbedaan pengertian Kanayatn ini disebabkan oleh beberapa sebab. Pertama adalah tradisi lisan yang merupakan salah satu sumber yang sudah memudar di kalangan mereka. Yang kedua, orang-orang tua yang pakar adat istiadat semakin langka. Bahasa-bahasa adat untuk baliatn, balenggang, Nyangahatn|nyangahatn]], dan lain-lain yang dikuasai oleh para tua-tua Dayak ini ada yang sudah lenyap bersama mereka. Yang ketiga, kecenderungan sifat orang
Dayak yang suka dengan hal-hal yang sifatnya instan. Apa yang sudah jadi dan dibawakan oleh orang luar langsung diterima dan dianggap sebagai kebenaran. Hal ini terutama terjadi di kalangan generasi muda yang sudah bersentuhan dengan pengaruh globalisasi informasi. Pengertian Kanayatn di kalangan orang-orang Bakati’ yang hingga saat ini diketahui adalah sebagai berikut.
1. Di wilayah adat Bakati’ Kanayatn (Kendayan) Satango, Kanayatn berasal dari akar kata layat, yaitu jenis rotan untuk menjemur pakaian. Biasanya direntangkan di rumah panjang. Jenis rotan ini biasanya disebut juga ui jalayatn. Dari perkataan layat inilah kemudian lahir istilah Kanayatn sebagai akibat adanya perubahan bunyi bahasa dalam pengucapannya (informan: Alm. Pak Logek). Namun ada juga yang mengatakan Kanayatn berasal dari perkataan kenane karena ada Kampung Kinande di wilayah ini (informan: Pak Tunggu).
2. Di wilayah adat Bakati’ Sebiha’ diperoleh informasi bahwa pada zaman dulu Sungai Sambas yang mengalir di wilayah Ledo sekarang ini disebut Sungai Kanayatn. Dalam perkembangan selanjutnya, sungai ini kemudian disebut Sungai Sambas karena bermuara di Kota Sambas (informan: Pak Asin). Sedangkan nganae’ dalam bahasa Bakati’ Riok artinya ‘ke hulu’. Konsep ini berhubungan dengan sungai.
atau
0 komentar:
Posting Komentar