• Rabu, 13 Februari 2013

    Tantangan Terbentuknya ASEAN Economic Community (AEC)

    http://adf.ly/hv5T3

    The Association of South East Asian Nations (ASEAN) yang telah berusia lebih dari empat dekade, dari tahun ke tahun berusaha meningkatkan integrasi kerjasama antar negara anggota ASEAN. Cetak biru (blueprint) tentang pembentukan Masyarakat ASEAN yang salah satunya berpilar pada ekonomi, yaitu ASEAN Economic Community (AEC), telah disepakati oleh negara anggota ASEAN dalam Bali Concord II tahun 2003. Terbentuknya AEC yang direncanakan terwujud pada tahun 2015, memiliki masalah dan tantangan sendiri bagi negara yang berada di kawasan Asia Tenggara. Essay ini akan menjelaskan pandangan kaum Neo-Realisme mengenai tantangan terbentuknya AEC. Menurut pandangan Neo-Realisme setidaknya ada 3 tantangan terbentuknya AEC nantinya, yaitu : Pertama; Neo-Realisme memfokuskan perhatiannya pada struktur internasional yang anarki, sehingga berpotensi munculnya cheater agar dapat bertahan (survive). Kedua; Sitem internasional yang ada, menyebabkan negara mengalami seccurity dillema, dan hal ini menyebabkan negara bergantung kepada negara besar untuk memperoleh keamanan. Ketiga; Menurut Kenneth Waltz, dalam stuktur internasional yang anarki, negara-negara akan saling mencari keuntungan (profit seeking) untuk memajukan perekonomian negaranya sendiri. Pendekartan Neo-Realisme menyebutkan bahwa negara lebih mementingkan diri sendiri agar national interest negara mereka terpenuhi (self help). Sehingga negara tersebut akan terus mencari keuntungan bagaimanapun caranya.

    Sebelum menganalisa hambatan dan tantangan terbentuknya AEC, perlu memahami terlebih dahulu mengenai tujuan dibentuknya AEC. ASEAN Economic Community atau AEC merupakan salah satu dari tiga pilar utama dalam pembentukan ASEAN Economic Community. Pada KTT ASEAN ke-9 tahun 2003, para pemimpin ASEAN sepakat untuk membentuk ASEAN community yang dipertegas kembali pelaksanaannya pada KTT ke-12 pada Januari 2007. Pada KTT ini ditandatangani deklarasi Cebu tentang percepatan pembentukan ASEAN Community pada tahun 2015. AEC memiliki empat pilar utama yang ingin diwujudkan, yakni pasar tunggal ASEAN, pengembangan perekonomian di ASEAN, pemerataan Ekonomi dan peningkatan daya saing global. AEC merupakan aliansi negara-negara ASEAN untuk membuat sebuah pasar tunggal (single market) yang mengaklerasikan arus keluar masuk barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja yang lebih bebas diantara negara-negara ASEAN. Pembentukan AEC sendiri dimaksudkan untuk memperkuat institusi ASEAN dalam pengambilan keputusan dan mempercepat integrasi sektor prioritas.

    Dalam essay ini, penulis menggunakan teori Neo-Realisme dalam menganalisis apa saja hambatan yang akan dihadapi oleh AEC pada saat penerapannya. Menurut Kennet waltz, seorang pemikir Neo-Realisme, anarki internasional membentuk perilaku negara-negara. Neo-Realisme menganggap bahwa perhatian utama negara-negara adalah keamanan dan kelangsungan hidup, karena negara bersikap rasional. Kondisi internasional yang anarki ini menempatkan negara-negara dalam sistem internasional sejajar, sebab tidak ada yang memiliki kewenangan yang lebih tinggi untuk mengatur hubungan antar Negara-negara. Oleh karena itu, tingkah laku negara selalu ingin bertahan hidup (survival) dan mencari keuntungan (profit seeking) untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Maka, untuk mencegah suatu Negara mendominasi sistem internasional karena pengejaran kepentingan nasionalnya, Neo Realisme menjadikan Balance of Power sebagai solusinya. Tujuan utama Balance of Power bukanlah untuk menjaga perdamaian, tetapi untuk melindungi keamanan dari Negara-negara besar (kuat), agar tetap bisa bertahan dalam sistem internasional yang anarki. Namun, karena sitem internasional yang anarki, terkadang menyebabkan negara-negara berpotensi untuk bertindak dengan mengabaikan norma guna mencari keuntungan dari yang lain, karena menurut Neo-Realisme negara akan profit seeking untuk mencapai kepentingan nasionalnya (national interest).

    Terbentuknya AEC dalam pandangan kaum Neo-Realisme, adalah sebuah aliansi ekonomi yang merupakan usaha perimbangan kekuatan (BoP) untuk menghadapi kekuatan perekonomian negara besar di Asia seperti China dan India. Saat ini, China dan India sedang mengalami kebangkitan ekonomi. Berdasarkan data, China saat ini merupakan negara yang memiliki perekonomian kedua terbesar setelah Amerika Serikat. China mampu memproduksi barang dengan jumlah yang sangat besar dan dapat bertahan meski mengekspor barang dengan harga yang lebih murah, seperti produk besi baja, alat angkutan laut, produk lektronik, buah-buahan, sayur-sayuran, pipa besi, pupuk, tekstil dan sepatu. China merevolusi dan memproduksi barang-barang yang disebut four modernizations pada bidang pertanian, perindustrian, kemiliteran serta saina dan tekhnologi. Sedangkan India, saat ini sedang mengalami perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dalam bidang industri dan jasa seperti jasa transpor, hotel dan restoran.

    Meskipun demikian, pembentukan aliansi ekonomi yang maju dan berkembang yang diharapakan oleh ASEAN dapat membentuk Balance of Power yang mampu menyaingi dominasi kebangkitan ekonomi China dan India, memiliki hambatan bagi terbentuknya AEC. Dalam membangun integritas kawasan ASEAN yang lebih maju, ada kesenjangan ekonomi di tiap negara anggota, hal ini karena sistem internasional yang anarki. Keadaan ekonomi yang berbeda di tiap negara, menjadi tantangan apabila AEC dilaksananakan. sistem internasional yang anarki berpotensi memunculkan negara yang cheater untuk mampu bertahan. Tidak hanya memunculkan adanya cheater, sitem anarki juga menimbulkan security dillema anatara negara kawasan, yang menyebabkan negara-negara di ASEAN bergantung dengan negara lain yang memiliki kekuatan besar. Selain itu, pengejaran kepentingan nasional negara-negara di ASEAN untuk dapat bertahan hidup (survival) dan mencari keuntungan (profit seeking) juga menyebabkan pembentukan AEC berjalan tidak mulus. Selain itu,

    Perbedaan yang mendasar mengenai latar belakang budaya, sistem dan struktur politik, hingga kondisi perekonomian antar negara anggota ASEAN menjadi faktor keberagaman implementasi kebijakan di suatu negara, dan hal ini adalah tantangan bagi pembentukan AEC. Negara di ASEAN melakukan penerapan kebijakan di dalam negerinya sesuai dengan rasionalitas negara. Dalam kasus kerjasama ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) yang telah direalisasi di tahun 2003, kebanyakan negara melakukan perdagangan tidak dengan ketentuan AFTA, melainkan melalui ketetapan Most Favourable Nations (MNF) negara tersebut. Pengurangan tingkat tarif mencapai 0-5 % yang ditetapkan melalui Common Effective Preferential Tariff (CEPT) dan penghapusan non-tariff barriers yang mulai dilaksanakan di tahun 2002 dirasa sangat merugikan perekonomian negara, khususnya negara yang memiliki Gross Domestic Product (GDP) kecil. Adanya kesenjangan ekonomi dan perbedaan tingkat pendapatan negara ASEAN tersebut telah memunculkan negara yang telah melakukan sebuah kecurangan (cheating) yang akan merugikan salah satu actor seperti kebijakan yang dilakukan Vietnam.




    atau 

    Artikel Terkait:

    0 komentar:

    Posting Komentar

    >